Daily News | Jakarta – Kekuasaan memang bisa tegak dalam struktur, namun bisa juga hanya sesuatu yang kosong dari makna yang mencerdaskan. Mereka lebih suka rakyat membebek daripada berpikir dengan akal menyala. Padahal pikiran merdeka tak bisa dikekang slogan, tak bisa dibungkam seremoni.
Begitulah, cendekiawan dan aktivis sosial keagamaan, Prof Dr Yudi Latif MA, menegaskan pada lembar pertama konstitusi terpatri mandat yang sangat jelas bila misi pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tugas pemimpin bukan sekadar menampung aspirasi, tapi menjadi suri teladan dan pendidik, hingga pembangkit keberanian bagi bangsa untuk menempuh jalan yang belum dikenal.
“Namun di negeri yang tanahnya serupa rahim semesta ini, para pemimpin menjelma mercusuar tanpa cahaya, yakni menjulang tinggi, tapi tak menuntun. Mereka bicara tentang masa depan, tapi lupa menyalakan obor pengetahuan di dada rakyat. Janji ditebar, tapi akal dibungkam; kata-kata menjulang, tapi langkah kehilangan arah. Tiada keteladanan, tiada tuntunan; ucapan dan tindakan berseberangan,’’ kata Yudi dalam perbincangan dengan KBA News, Sabtu pagi, 9 Agustus 2025.
Menurutnya, kekuasaan memang bisa tegak dalam struktur, namun juga bisa hanya sesuatu yang kosong dari makna yang mencerdaskan. Mereka lebih suka rakyat membebek daripada berpikir dengan akal menyala. Padahal pikiran merdeka tak bisa dikekang slogan, tak bisa dibungkam seremoni.
“Maka muncul jiwa tanpa pendidikan yang mudah disesatkan, mudah dilupakan. Mereka kira rakyat cukup diberi makan, dipagari aturan. Tapi manusia bukan ternak; ia menyala karena punya ruh dari mata air akal. Inilah yang mesti ditumbuhkan, diasah, diajak berdialog,’’ ujarnya.
Alhasil, tanpa mencerdaskan, kekuasaan hanyalah bayang panjang di tanah gersang, yang besar di siang hari, lenyap saat cahaya padam. “Pemimpin sejati tak hanya penentu arah, tapi penumbuh kesadaran. Ia tak sekadar memberi aba-aba, tapi menggugah keberanian bertanya. Namun yang kerap tampak: pemimpin yang takut pada rakyat yang berpikir—karena pikiran merdeka tak bisa dijaga pagar-pagar retorika.”
Pemimpin tipe seperti itu mereka membangun jembatan antar kota, tapi membiarkan jurang makna menganga. Mereka dirikan sekolah, tapi membungkam pertanyaan. Kepatuhan dipuji, kebisuan dirayakan, kebijaksanaan dan keberanian justru dicurigai.
“Dan kelak, ketika sejarah menoleh, ia tak akan menghitung panjang jalan atau jumlah kursi yang digenggam. Ia hanya bertanya, pelan namun tajam: Apakah engkau mendidik bangsamu? Apakah rakyatmu sanggup berdiri saat engkau tiada? Sebab pemimpin yang tak mendidik hanyalah bayang yang melintas di tanah kosong—hilang bersama angin waktu, tanpa pernah benar-benar hidup dalam jiwa bangsanya,’’ tandas Yudi Latif. (HMP)