Daily News | Jakarta – Noda pemilu yang berbau kecurangan ini sangat mencederai demokrasi. Kita tentunya tidak bisa melawan karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Usaha untuk menciptakan demokrasi yang lurus, jujur dan adil akan ternoda jika hal itu terus terjadi di setiap Pemilu dan Pilpres.
Memang, sistem politik demokrasi merupakan merupakan bentuk pemerintahan yang saat ini dianggap terbaik karena melipatkan sebanyak mungkin partisipasi rakyat. Pemerintahan yang terpilih dari hasil pemilihan banyak orang yang secara sadar dan sukarela memilih. Tetapi dalam praktek, semua itu bisa direkayasa dalam kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.
Pegiat demokrasi dari Pekanbaru Provinsi Riau Birman Alwi menyatakan hal itu kepada KBA News, Ahad, 19 Oktober 2025 mengangapi pernyataan tokoh penggerak Perubahan yang mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Ketua Wilayah Relawan Sobat Anies Nusanytara Provinsi Riau itu menyatakan dia sepakat sepenuhnya atas apa yang dikatakan Anies. Kondisi memang memprihatinkan di mana perkembangan demokrasi menjadi taruhan di masa depan dan pada generasi muda.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional itu memberikan orasi imiah di Kampus FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor Jawa Barat pada senin pekan lalu dengan judul orasi: Demokrasi Kita Sedang Diuji. Cemarah Anies dihadiri oleh ratusan orang civitas akademi Unpad yang terdiri dari mahasiswa, staf pengajar dan alumni. Mereka menyimak sepenuh hati dan pikiran atas apa yang disampaikan oleh penggagas Indonesia Mengajar yang juga ada mantan Rektor Universitas Paramadina itu.
Dalam orasinya itu Anies menyatakan Demokrasi Kita memang benar benar sedang mengalami ujian yang sangat berat. Filsuf Yunani Plato pernah mengingatkan : Negara akan runtuh, ketika jabatan publik diwariskan, bukan diamanahkan. Demokrasi yang sejatinya merupakan ruang bagi Kebajikan kini menjadi panggung pewarisan takhta dan perniagaan kekuasaan. “Kita menyaksikan Perubahan yang halus, namun menyakitkan, rakyat bukan lagi sumber kedaulatan melainkan alat legitimasi yang kemudian ditinggalkan setelah tidak diperlukan lagi,” kata Anies.
Kenapa? Realita yang terjadi saat ini bahwa sistem pemerintah dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat yang dijalan dari, oleh, dan untuk rakyat. “Faktanya Demokrasi di Indonesia kedaulatannya sudah bukan di tangan Rakyat lagi. Kesataraan hak utk melindungi hak hak rakyat sudah terabaikan,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (Unisri) itu.
Banyak indikasi yang menunjukkan demokrasi tidak dipraktekkan secara utuh pada masa Jokowi yang berlanjut hingga sekarang ini. Seperti terjadinya Demonstrasi bulan Agustus lalu. Ini terjadi sebagai salah satu akibat masyarakat sudah muak dengan retorika penjabat yang menjalankan Demokrasi itu. “Mereka mempraktekkan demokrasi sebagai kegiatan jual beli. Suara rakyat ditukar dengan Bansos yang tidak seberapa. Setelah itu mereka bebas melakukan apapun untuk kepentingan diri, keluarga dan oligarkinya,” katanya.
Terpilih karena uang
Mereka, kecam wartawan senior di Pekanbaru itu, terpilih karena uang bukan karena hasil bersih dari Demokrasi, sehingga bahasa, perbuatan dan hasil kerja nyata mereka tidak mewakili Demokrasi lagi. “Ini yang terjadi tidak hanya di tingkap Pemerintahan Pusat, tetapi juga di DPR baik Pusat maupun daerah dan juga di pemilihan kepala daerah. Ini sudah berlalu umum.”
Rakyat ingin mengubah itu tetapi terkendala permufakatan jahat yang masif melibatkan oknum penyelenggara negara seperti kopolisian, aparat birokrasi dan lembaga pemilihan umum baik di Pusat maupun di daerah. Kita merasa hal itu secara nyata di Pilpres 2024. “Kita tahu bahwa ada yang tidiak beres tetapi kita tidak berdaya bagaimana cara melawannya,” katanya putus asa dan kesal.
Dia memberi contoh kejadian di Riau pada umumnya dan Pekanbaru pada khususnya. Dukungan kepada AMIN tinggi sekali. Selama proses kampanye Anies beberapa kali datang ke daerah itu baik ke Pekanbaru maupun ke kota Dumai. Masyarakat menyambut baik, hangat dan besar-besaran. Di setiap kedai kopi yang banyak terdapat di seantero provinsi nama Anies dan Muhaimin menjadi buah bibir. Apalagi dua orang calon lain yaitu Prabowo dan Ganjar tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke tanah sakti Melayu Lancang Kuning.
“Kenyataan membuat kami kaget. Kok bisa AMIN kalah, yang menang adalah calon yang didukung Jokowi. Dugaan kami, aparat negara melakukan kegiatan yang tidak terpuji untuk memenangkan Paslon tersebut, baik lewat operasi sembako maupun operasi pengubahan suara di KPUD. Kecurangan itu terada ada tetapi kami tidak mampu membuktikannya,” katanya lagi.
Noda pemilu yang berbau kecurangan ini sangat mencederai demokrasi. Kita tentunya tidak bisa melawan karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Usaha untuk menciptakan demokrasi yang lurus, jujur dan adil akan ternoda jika hal itu terus terjadi di setiap Pemilu dan Pilpres. (EJP)



























