Daily News | Jakarta – Minggu (7/12/2025) seharusnya menjadi hari yang tenang di Kota Hujan. Namun, kegelisahan justru terpancar dari Assoc. Prof. Dr. TB Massa Djafar. Ketua Dewan Pakar Partai Masyumi, yang sekaligus akademisi senior Universitas Nasional ini, tajam membaca tanda-tanda zaman: negeri ini dinilainya sedang di ujung tanduk.
TB Massa tak lagi diplomatis, tapi langsung menukik pada inti persoalan, bahwa kepercayaan rakyat, menurutnya, sudah berada di titik nadir. Harapan yang sempat digantungkan di pundak Presiden Prabowo untuk menjadi antitesis dari rezim sebelumnya, kini mulai diragukan.
Suara Mahasiswa Indonesia Sampai ke PBB: Penghargaan Langsung dari Sekjen PBB untuk ISAFIS
Loper Koran“Di rezim ini, rakyat sangat berharap pada Presiden Prabowo. Namun jika Presiden hanya ‘omon-omon’—hanya retorika tanpa eksekusi—maka tinggal tunggu waktu rakyat bergerak sendiri mencari keadilan, seperti preseden yang terjadi di Nepal,” ujarnya dengan nada serius. Ia buru-buru menambahkan, “Ini bukan provokasi, ini hasil pembacaan kami sebagai insan akademis.”
Bagi TB Massa, rentetan bencana banjir bandang yang meluluhlantakkan Sumatera dan Aceh baru-baru ini bukanlah sekadar amuk alam biasa. Itu adalah lonceng peringatan. Ia menyebutnya sebagai gejala “kanker stadium empat” yang menjangkiti tubuh negara.
“Kerusakan sudah merambah ke semua lini. Fasilitas umum hancur, sekolah tempat anak bangsa menimba ilmu luluh lantak. Kita seolah tinggal menunggu lonceng kematian jika tidak ada penanganan radikal,” paparnya.
Klaim pemerintah soal angka kemiskinan pun dibedahnya dengan data pembanding yang menohok. Jika BPS mencatat angka kemiskinan Maret 2025 “hanya” 23,85 juta jiwa, TB Massa menyodorkan data Bank Dunia (World Bank) 2024 yang memotret realitas lebih kelam: 194,4 juta jiwa atau 68,2% rakyat Indonesia hidup dalam kerentanan.
Sorotan tajam Ketua Dewan Pakar Partai Masyumi ini, kemudian beralih ke Sulawesi Tengah. Isu kedaulatan, yang menjadi salah satu pilar perjuangan Masyumi, dinilainya telah terkoyak di Morowali. Ia menunjuk keberadaan bandara khusus di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). “Di sana, mayoritas saham dikuasai investor China. Bandara beroperasi bebas, minim pengawasan Bea Cukai dan Imigrasi. Ini sudah seperti ada negara di dalam negara,” kritiknya tajam.
Kondisi ini, menurut TB Massa, adalah warisan “limbah” dari 10 tahun pemerintahan sebelumnya. Ia menyebut era rezim Jokowi telah melahirkan apa yang disebutnya sebagai state crime atau kejahatan negara—di mana kekuasaan, pelemahan KPK, dan UU Cipta Kerja dijadikan instrumen untuk melayani oligarki dan asing, sembari mematikan desentralisasi.
Menutup perbincangan, TB Massa memberikan pandangan futuristik yang cukup menyentak. Dengan usia Republik yang menginjak 80 tahun, namun kesejahteraan makin jauh panggang dari api, ia melihat Indonesia ada di persimpangan jalan yang krusial.
Presiden Prabowo, menurutnya, tidak punya kemewahan waktu untuk berkompromi. Pilihannya hanya satu: tempuh langkah revolusioner. “Segera reshuffle kabinet dari limbah rezim lalu, dan adili oligarki perusak negara,” tegasnya.
Jika jalan itu tidak ditempuh, TB Massa memprediksi logika sosial-politik rakyat akan mencari jalannya sendiri. “Hanya ada dua kemungkinan di ujung jalan: wilayah-wilayah memilih merdeka, atau kita selamatkan NKRI dengan mengadopsi sistem federal agar keadilan daerah terjaga.”
“Semoga Presiden tak mengabaikan jerit hati rakyatnya. Jangan hanya ‘omon-omon’ sebelum semuanya terlambat,” pungkasnya menutup pertemuan di Bogor siang itu. (DJP)




























