Daily News | Jakarta – Sejarah sering kali menjadi cermin bagi masa depan. Di tengah dinamika politik dan sosial yang terjadi saat ini, penting untuk melihat kembali nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Salah satunya adalah prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) dan bagaimana hal itu relevan dengan kondisi demokrasi Indonesia saat ini.
Hal ini mengemukan dalam Diskusi Publik dan Seruan Salemba Kedua! Menjelang Peringatan 70 Tahun Konferensi Asia Afrika, Kamis, 27 Februari 2025 yang disiarkan melalui livestreming YouTube dikutip KBA News.
Salah satu inisiator Seruan Salemba Kedua, Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A, mengingatkan bahwa apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa di jalanan hari ini merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang telah ditekankan oleh Mohammad Hatta, salah satu proklamator Indonesia.
Dalam sebuah kesempatan, beliau menyatakan, “Kita berada di ruangan ini memanggil saya untuk menyatakan kembali apa yang sudah dikatakan oleh Bung Hatta. Salah satu proklamator kita mengatakan, Universitas Indonesia tahun 1953 menyatakan bahwa mandat universitas adalah menjadikan para mahasiswa manusia Indonesia yang berkarakter. Yakni yang berani mengatakan yang sebenarnya, berani mengatakan yang salah, dan berani mengatakan yang tidak benar.”
Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesi ini menyatakan, gerakan mahasiswa bukanlah ancaman, melainkan perwujudan dari hakikat demokrasi yang sehat. “Jadi kalau mahasiswa ada di jalan, itu sebenarnya sedang memanifestasikan apa yang disampaikan oleh Bung Hatta. Jadi, mengapa BEM SI sampai membuat orang takut? Padahal itu anak-anak kita,” ujarnya.
KAA: Warisan yang terlupakan?
Dalam konteks sejarah, Sulistyowati juga menyoroti bahwa Konferensi Asia Afrikayang akan memperingati 70 tahun keberadaannyamerupakan hasil gagasan para pendiri bangsa dan tokoh dari negara-negara Asia dan Afrika. Ironisnya, negara-negara lain seperti China, Nigeria, dan India tampaknya lebih sadar akan pentingnya peringatan ini dibanding Indonesia sendiri.
“Konferensi Asia Afrika digagas oleh pendiri bangsa dan tokoh di Asia Afrika. Akan diperingati 70 tahun, itu yang menginisiasi negara Indonesia, tapi kelihatannya yang merayakan besar-besaran adalah China, Nigeria, India. Negara kita belum ngeh,” tegasnya.
Peringatan ini seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk kembali menggaungkan nilai-nilai Dasa Sila Bandung yang lahir dari konferensi tersebut. Prinsip-prinsip hak asasi manusia, kolaborasi antarnegara, serta semangat antikolonialisme yang diusung dalam KAA seharusnya tetap menjadi fondasi dalam kebijakan luar negeri dan demokrasi nasional.
Demokrasi goyang dan peran anak muda
Antropolog feminis ini menyatakan, Indonesia saat ini berada dalam situasi yang krusial, di mana struktur demografi menunjukkan bahwa sekitar 70 persen penduduknya adalah anak muda. Ini adalah bonus demografi yang tidak akan datang dua kali. Namun, di saat yang sama, kondisi hukum dan politik di Indonesia dinilai semakin goyah.
“Indonesia diberi takdir oleh Tuhan YME yang tidak akan datang untuk kedua kalinya. Saat ini, struktur demografi kita banyak anak mudanya, sekitar 70 persen. Jadi sangat signifikan dengan adanya Konferensi Asia Afrika. Dan juga dikaitkan dengan negara kita yang hukumnya sedang goyang-goyang,” tambah Sulistyowati.
Dalam perspektifnya, perjuangan saat ini bukan hanya sekadar memperjuangkan kepentingan politik semata, melainkan juga upaya meluruskan kembali demokrasi. Pilar negara hukum harus dijaga, termasuk memastikan adanya pengadilan yang independen. Namun, kenyataannya, situasi politik saat ini menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan.
“Yang kita perjuangkan selama ini adalah meluruskan kembali demokrasi, dan itu adalah pilar bagi negara hukum. Kita juga harus memastikan adanya pengadilan yang independen. Tapi hari ini kita melihat apa yang terjadi, politik juga sangat goyang-goyang,” ujarnya.
Dengan refleksi ini, penting bagi Indonesia untuk kembali meneguhkan komitmennya terhadap demokrasi dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Anak muda, sebagai tulang punggung bangsa, memiliki peran penting dalam menjaga semangat kebebasan, keadilan, dan demokrasi yang sehat. (DJP)
Discussion about this post