Daily News | Jakarta – Negara sebesar dan semaju Amerika saja masih melindungi industrinya dengan tarif. Kita yang masih tertinggal dari segi teknologi dan daya saing, kok malah mau bebasin tarif dan kuota? Ini bisa jadi bumerang.
Maka, di tengah gejolak pasar global akibat proteksionisme Amerika Serikat, wacana pemerintah untuk menghapus kuota impor menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi. Langkah yang disebut-sebut muncul dari Presiden terpilih Prabowo Subianto itu dinilai reaktif dan berisiko memperparah tekanan ekonomi dalam negeri.
Pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Nurmadi Harsa Sumarta, S.E., M.Si., Ak., CACP., CSRS., CSRA., menyebut bahwa kebijakan semacam itu seharusnya lahir dari kajian mendalam, bukan keputusan tergesa-gesa.
“Negara sebesar dan semaju Amerika saja masih melindungi industrinya dengan tarif. Kita yang masih tertinggal dari segi teknologi dan daya saing, kok malah mau bebasin tarif dan kuota? Ini bisa jadi bumerang,” ujarnya kepada KBA News, Rabu, 9 April 2025.
Nurmadi menyoroti dampak lanjutan dari kebijakan tersebut. Menurutnya, sejak awal 2024, sektor tekstil dan turunannya sudah terpukul hebat akibat serbuan produk impor. Data menunjukkan lebih dari 76 ribu tenaga kerja telah kehilangan pekerjaan. Pada triwulan pertama 2025, jumlah ini bahkan diperkirakan bertambah lebih dari 23 ribu orang.
“Kalau tarif dan kuota dihapus, siapa yang bisa jamin petani, perajin, dan pelaku UMKM tidak gulung tikar? Mereka jelas kalah dari sisi harga dan kualitas,” tambahnya.
Presidium di Forum AKSI (Alumni Kampus Seluruh Indonesia) ini memperingatkan bahwa pembebasan impor dalam kondisi saat ini justru akan memperparah defisit neraca perdagangan dan pembayaran, memperlemah rupiah, dan membebani utang luar negeri.
“Saat ini saja rupiah sudah melemah. Secara teori, ini bisa mendorong ekspor. Tapi realitanya, kondisi global sedang tidak mendukung. AS memberlakukan tarif tinggi. Kalau kita malah buka keran impor selebar-lebarnya, itu keputusan yang kontraproduktif,” katanya.
Lebih lanjut, Nurmadi menyayangkan sikap pemerintah yang menurutnya belum cukup peka terhadap situasi ekonomi nasional.
“Industri banyak yang tutup, PHK meningkat, daya beli masyarakat turun. Tapi pemerintah justru terkesan abai. Pernyataan bahwa pagi masih cerah terasa menyakitkan di tengah jeritan rakyat yang merasakan kesulitan hidup,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih fokus pada penguatan ekonomi domestik, mulai dari efisiensi belanja negara, penghentian program-program yang tidak produktif, hingga penguatan sektor strategis seperti pertanian, industri kecil, dan pengelolaan sumber daya alam.
“Pemerintah harus berani mengesahkan UU perampasan aset untuk memperbaiki keuangan negara, dan tidak kalah penting, memberantas korupsi serta menegakkan hukum secara adil dan konsisten,” tegasnya.
Dengan nada kritis, Nurmadi menegaskan bahwa ekonomi Indonesia membutuhkan arah baru yang lebih berpihak pada rakyat dan potensi dalam negeri. “Kemandirian ekonomi itu kunci. Jangan sampai Indonesia jadi pasar tanpa batas bagi produk luar, sementara pelaku usaha lokal dibiarkan tenggelam,” tegasnya. (EJP)
Discussion about this post