Daily News | Jakarta – Kekalahan pasangan Ridwan Kamil-Suswono dalam Pilgub Jakarta 2024 menjadi pukulan telak bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Padahal, Jakarta selama ini dikenal sebagai basis kekuatan PKS, partai yang mendominasi perpolitikan ibu kota.
Rektor Universitas Madani Yogyakarta, Prof. Dr. M. Wil Jandra, M.Ag., menyebutkan bahwa kekalahan ini adalah fenomena yang mencerminkan dinamika politik baru di Jakarta. “Jakarta adalah basis PKS. Mereka sering kali menang di sana. Namun, Pilgub tahun ini menunjukkan hal yang berbeda,” ujarnya saat dihubungi KBA News, Rabu, 11 Desember 2024.
Menurut dia, dalam beberapa kesempatan terlihat PKS seperti ada penyesalan meninggalkan Anies Baswedan sehingga tidak bisa maju. “Tokoh PKS, Mardani Ali Sera, beberapa kali menyebut efek Anies sangat kuat di Jakarta,” katanya.
Prof Jandra mengutip komentar pakar hukum tata negara Refly Harun, kekalahan PKS dapat diartikan sebagai bentuk hukuman politik dari masyarakat. “PKS boleh meninggalkan Anies, tetapi masyarakat juga punya hak untuk menghukum PKS,” ungkapnya mengutip pernyataan Refly Harun.
Kenyataannya, pasangan Pram-Doel justru berhasil merebut simpati pemilih Jakarta. Bahkan di wilayah yang dikenal sebagai basis PKS, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Dampak meninggalkan Anies juga terasa di beberapa daerah, seperti Depok Jawa Barat, dominasi PKS juga goyah.
Prof Jandra tidak ragu kekalahan PKS karena meninggalkan Anies dan bergabung ke KIM Plus. “Anies Baswedan tetap memiliki pengaruh yang masih kuat, terutama karena ia dianggap sebagai tokoh yang berpihak pada masyarakat miskin,” tegasnya.
Selain Anies, ada juga spekulasi mengenai peran mantan gubernur lainnya, Ahok, dalam pemenangan Pram-Doel. Namun, kontribusinya dianggap tidak sebesar pengaruh Anies. “Jakarta ini cerminan Indonesia. Pilgub di sini penting karena masyarakatnya sudah berpikir rasional,” kata Prof. Wil Jandra.
Ironisnya, tingkat partisipasi pemilih di Jakarta turun drastis, dengan 50 persen pemilih memilih golput. Hal ini disebut-sebut sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap skenario politik yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi mereka. Awalnya, Ridwan Kamil-Suswono diprediksi hanya akan menghadapi kotak kosong. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang pencalonan baru mengubah jalannya Pilgub secara signifikan.
Menurut Prof. Wil Jandra, PKS sebenarnya memiliki peluang besar jika mencalonkan kembali Anies Baswedan berpasangan dengan Sohibul Iman. “Jika PKS bersikap lebih strategis dengan mencalonkan Anies, hasilnya bisa saja berbeda. Partisipasi pemilih pun kemungkinan akan lebih tinggi,” ujarnya.
Keputusan PKS untuk meninggalkan Anies dan bergabung dengan KIM Plus dengan harapan memenangkan Pilgub di beberapa daerah justru yang terjadi sebaliknya. “Keputusan gabung rezim menuai kritik. Kekalahan ini menjadi pelajaran penting bagi PKS untuk memahami bahwa kepercayaan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja,” jelasnya. (EJP)