Daily News | Jakarta – “Ibarat koin mata uang yang terus menggelinding di antara kedua sisinya, laba dan rugi, Itulah yang akan dihadapi Danantara, hingga pada akhirnya akan muncul hasilnya, apakah pendapatan yang diharapkan atau risiko yang diterimanya.”
Danantara, yang merupakan akronim dari Daya Anagata Nusantara telah secara resmi diluncurkan oleh Presiden Prabowo tanggal 25 Februari lalu. Di situ masalahnya, ibarat bayi yang baru lahir, dia dipaksa dan diberi tugas untuk mengurus rumah tangga dan keluarga. Sesuatu yang berisiko besar dan bisa berbahaya bagi keluarga itu.
Pengamat politik alumni Universitas 11 Maret (UNS) Solo yang juga pengamat BUMN dan Pasar Modal Hendarto menyatakan hal itu kepada KBA News, Sabtu, 1 Maret 2025 menyikapi berdirinya Danantara yang sudah menimbulkan kontroversi dan perdebatan dalam masyarakat. Ada yang pro dan kontra. Pemerintah sendiri terkesan memaksakan pembentukan Holding yang akan mengurus investasi di luar BUMN.
Menurutnya, melihat dasar hukum yang menaunginya, maka Danantara adalah bayi besar baru lahir yang diberi kepercayaan dan kewenangan luar biasa jauh lebih besar melampaui BUMN-BUMN yang terlebih dahulu telah ada di negara ini. Danantara bahkan diberi tugas untuk mengelola BUMN yang lahir lebih dulu, padahal dasar hukum pendirian Danantara saja hanya merupakan satu pasal sisipan pada undang-undang mengenai BUMN.
“Modal dan nilai asset yang dikelola serta kewenanngannya menjadikan Danantara sebagai superbodi yang luar biasa. Sebagai bayi yang baru lahir, Danantara tentu masih harus belajar duduk, merangkak dan berjalan, baru kemudian diharapkan segera dapat berlari sekencang-kencangnya. Masalahnya, apakah dengan lahir sebagai bayi raksasa, kelak akan menjadi anak yang berguna bagi bangsa ini atau justru sumber malapetaka bagi bangsa ini,” kata peraih gelar master ekonomi dari Universitas Pakuan Bogor itu.
Tugas pokok yang diemban oleh Danantara adalah merupakan badan pengelola investasi nasional yang dibentuk untuk mengelola aset negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Model yang ditiru adalah Temasek yag merupakan holding BUMN yang dikenal di Singapura yang telah menjadi penyebab ekonomi negara maju dan mengesankan seperti sekarang ini.
Dijelaskannya, Sumber dana Danantara adalah dari modal penyertaan negara yang bisa berupa dana tunai, asset milik negara dan saham milik negara atau sumber lain serta pemindahtanganan aset negara atau Aset BUMN. Modal Danantara ditetapkan paling sedikit sebesar Rp 1.000.000.000.000. 000,00 (seribu triliun rupiah).
Holding ini dapat melakukan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan Holding Investasi, Holding Operasional, dan pihak ketiga. Holding Investasi dan Holding Operasional berbentuk perseroan terbatas yang 99% sahamnya dimiliki Danantara, sedang 1% sahamnya yang merupakan saham merah putih dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. Danantara akan mengelola BUMN, dividen Holding Investasi, dividen Holding Operasional, dan dividen BUMN.
“Danantara hanya bisa diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal selama ini BUMN diperiksa oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sebagai pengendalian internal BUMN yang bersifat pengawasan melekat, karena BPKP memastikan pengawasan dan pengendalian internal keuangan perusahaan berjalan dengan baik dan efektif,” jelasnya.
Sangat setuju tetapi
Secara konsep, tambah Hendarto, dia pribadi sangat setuju dengan pembentukan Danantara sebagai pooling of asset atau pooling of fund milik negara. Danantara akan dapat menjadi business institution yang punya daya tawar yang tinggi yang punya keistimewaan sebagai penguasa hak atas berbagai peluang investasi strategis yang ada di Indonesia.
“Saking berharapnya, Prabowo pada Danantara, maka pemerintah melakukan tindakan ekstrem untuk dapat menyediakan dana investasi yang dibutuhkan Danantara sesegera mungkin. Pemerintah melakukan kebijakan efisiensi pos pengeluaran APBN pada semua anggaran kementerian, badan, termasuk alokasi anggaran untuk pemerintah daerah.
Sebagai suatu entitas bisnis, Danantara tentu juga akan menghadapi empat siklus bisnis umum sebagai pola naik turun aktivitas ekonomi yang wajar yang terjadi berulang, yaitu fase pertumbuhan (ekspansi), fase puncak, fase kontraksi, fase palung sebagai kondisi terburuk dalam siklus bisnis. Danantara bukanlah sebagai Lembaga investasi pada surat-surat berharga di pasar keuangan (pasar modal dan pasar uang), yang risiko dan tolok ukur keberhasilannya (benchmark) relative jelas.
Danantara diharapkan oleh pemerintah untuk melakukan investasi langsung riil (real direct investment) pada berbagai sektor usaha. Perusahaan atau usaha yang sukses biasanya punya pengalaman dalam menghadapi perubahan aktivitas ekonomi lingkungannya, sementara Danantara masih baru, tidak punya pengalaman sama sekali dalam berbisnis.
Pemerintah sangat yakin Danantara akan langsung dapat berlari kencang karena akan dikemudikan oleh para pengusaha sukses berpengalaman. Kalau diibaratkan pengemudi, Danantara belum pernah naik sepeda motor dengan lisensi SIM-C sekalipun, tapi langsung diminta mengemudikan truk gandengan jumbo yang harus dikemudikan sopir berlisensi SIM-B2. Kira-kira yang akan terjadi? Lagi-lagi, keadaan paradoks demikian diabaikan oleh Prabowo.
Dibalik setiap harapan pendapatan (expected return) atas suatu investasi, terdapat potensi risiko investasi (investment risk) yang setiap saat mengancam investor (pemodalnya). Makin besar ecpected return suatu investasi, makin besar potensi risiko yang menyertainya. Pendapatan dan risiko investasi akan selalu berjalan seiring.
“Ibarat koin mata uang yang terus menggelinding di antara kedua sisinya, laba dan rugi, hingga pada akhirnya akan muncul hasilnya, apakah pendapatan yang diharapkan atau risiko yang diterimanya. Harapan pendapatan investasi langsung pada sektor riil sebagaimana yang akan dilakukan oleh Danantara, umumnya memiliki risk profile yang jauh lebih besar dari pada portofolio pada surat-surat berharga (marketable securities) di financial market,” demikian Hendarto. (EJP)
Discussion about this post