Daily News | Jakarta – Trump dalam kasus Zelenskyy ini, sedang memperkenalkan jurus baru, court-style diplomacy. Jurus perang narasi ala persidangan pengadilan.
Pertemuan puncak, KTT mini ala retreat yang dihadiri Presiden Trump, Presiden Ukraina Zelenskyy dan Wakil Presiden AS, JD Vance dibuka di ruang Oval Gedung Putih 28 Feb 2025. Berlangsung secara live (real time) dan diliput media massa.
Pengamat hubungan internasional PLE Priatna mengatakan, pertemuan puncak itu menjadi sebuah atraksi teatrikal format pertemuan bilateral ala talks show menjadi ajang debat kusir, undiplomatic dan bahkan brutal.
Dubes Ukraina untuk AS, Oksana Makarova duduk di deretan kursi sebelah kanan Presiden Zelenskyy nampak tertunduk menutup wajah, tak tahu apa yang harus dilakukan, ketika Presiden Zelenskyy dibombardir kalimat Presiden Trump dan Wapres JD Vance.
Presiden Zelenskyy dari sebuah negara kecil yang sedang berperang dengan Rusia ini, tentu terkejut bahwa Presiden Trump mengajak orang nomor 2 di AS Wapres JD Vance hadir dalam forum yang sama dengan Presiden Trump dan menjadi peserta aktif dalam dialog interaktif yang terkesan brutal mengeroyok tamunya dalam debat kusir.
“Pertemuan bilateral itu pun beralih menjadi ajang pengadilan yang mempermalukan apalagi tamunya tidak mengunakan setelan jas sebagai dress code standar,” ujar mantan diplomat senior RI, PLE Priatna kepada KBA News, Senin, 3 Maret 2025.
Entah bagaimana protokol-wise nya pembicaraan yang semestinya di ruang tertutup, obrolan serius ini disebutkan Priatna justru berubah cepat menjadi talkshow debat terbuka mengungkap segala isi materi berikut ketersinggungan tuan rumah atas sanggahan mitranya.
Tuan rumah dari negara super power berikut kerumunan delegasi perlente yang nampak tidak bersahabat dan puluhan awak media yang menyaksikan ini, menurut Priatna, tentu membuat tidak nyaman, posisi yang tidak setara bagi tamu apalagi bila timbul suasana intimidatif.
Priatna yang juga mantan wakil kepala Perwakilan RI di Beijing dan Tokyo ini, menyitir pandangan Prof Jeffrey Sachs, ahli politik dan sejarah diplomasi AS baru-baru ini yang mengatakan walaupun banyak risikonya, di situlah Trump ingin membangun diplomasi baru bergaya grown-up diplomacy.
Diplomasi orang dewasa, nyata, tanpa basa-basi, membumi, transaksional, agresif plus intimidatif, untuk tujuan pragmatis.
Namun, tidak hanya itu, pihaknya percaya bahwa Presiden Trump dalam kasus Zelenskyy ini, sedang memperkenalkan jurus baru, court-style diplomacy.
Jurus perang narasi ala persidangan pengadilan. Keberanian melontar isu dengan bahasa lugas di ruang terbuka. Membongkar persoalan, beradu argumentasi soal tujuan sekaligus menjatuhkan putusan pilihan amat tegas.
Dan ujungnya menawarkan solusi baru, yang tidak mudah atau bahkan dilematis bagi mitra yang akan menjalankannya.
Bagi seorang diplomat tentu ini menjadi sebuah sajian realtime yang menarik. Sekalipun format summit menampilkan gaya semi negosiasi ala retreat tapi ujungnya penuh risiko, bergulir cepat menjadi ajang adu mulut.
“Pertaruhan risiko, gaya risk taker uji nyali psikologis lawan bicara dibombardir dengan perlawanan gagasan sekaligus kalimat yang bahkan tidak enak didengar,” tutur Priatna.
Tanpa basa-basi diplomatik, narasi kalimat dilontarkan saling memotong beradu argumentasi materi isu yang diungkap terbuka di depan pers. Bahkan melewati kelaziman pakem diplomatik, cara bicara ala talks show berikut sikap ngeyel dan pada akhirnya terjebak melupakan tujuan akhir dari dialog itu.
Apa yang terjadi? Kesepakatan final gagal ditandatangani kedua pihak, walaupun menurut Trump, Presiden Ukraina tidak siap dengan tawaran barunya, berdamai dengan Rusia.
Perjalanan panjang sejak tahun 2022, pro-kontra bantuan ke Ukraina dari masa Biden. Saat Trump belum dilantik dan JD Vance masih menjadi Senator Ohio yang kritis atas peran AS di Ukraina hingga Trump menyebut Zelenskyy adalah diktator, nampak arus perubahan dan perbedaan sikap AS atas Ukraina dan Zelensky yang bertengkar di ruang publik.
Latar belakangan Trump ingin menjungkirbalikan kebijakan Biden berikut Presiden Zelensky yang bersikap taken for granted bahwa Presiden Trump akan bersikap sama dengan Biden, di tengah kemacetan diplomatik dan ancaman eskalasi perang yang meluas.
“Menyebabkan Presiden Trump dan Wapres JD Vance melakukan tekanan pada Zelensky,” imbuh Priatna yang juga alumnus FISIP UI dan Monash University, Melbourne, Australia ini.
Penandatanganan kerjasama olah mineral dan skema ke depan perdamaian yang segera bisa dilaksanakan, bukan bertahan pada posisi masa lalu, di bawah presiden yang lama, Biden.
Trump hadir dengan ide terobosan, menawarkan jalan keluar yang praktis, AS sebagai honest broker intimidatif bagi Ukraina untuk mewujudkan perdamaian sekaligus menghentikan peperangan Ukraina Rusia.
Bercermin pada KTT Oval ini, sekalipun tidak mengundang Presiden Putin, disebutkan Priatna yang juga mantan Direktur Informasi dan Media, Kementerian Luar Negeri RI, ada satu hal istimewa dari KTT ini, sesungguhnya Presiden Rusia, Putin “turut hadir dan dihadirkan menjadi bintang tamu” (meski secara fisik Presiden Putin berada di Moscow).
“Putin dan Rusia hadir menjadi topik sentral, yang memicu perdebatan, baik oleh Zelensky maupun pihak tuan rumah, Presiden Trump dan Wapres JD Vance,” imbuhnya.
Priatna yang pernah bertugas di Denmark, Belgia, China, dan Jepang, menuturkan, Trump memang telah menyiapkan pertemuan pendahuluan AS-Rusia di Riyadh, Arab Saudi.
“Mengundang delegasi Rusia yang dipimpin Menlu Rusia Sergei Lavrov, tanpa melibatkan wakil/delegasi Ukraina,” demikian Priatna. (HMP)?
Discussion about this post