Daily News | Jakarta – “Ini jelas bukan ranah pidana seperti yang dikatakan Pak Jimly dan Komjen Pur Susno Duadji. Jika TUN menyatakan sebaliknya, maka Poldapun tidak perlu sungkan terbitkan SP 3 untuk Roy Suryo dan 7 tersangka lainnya.”
Terbentuknya Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian RI yang diketuai oleh mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie dan anggota-anggotanyayang diisi oleh nama-nama besar baik dari kepolisiaan dan pakar masyarakat sipil diharapkan memberikan harapan bagi tebentuknya Polri yang mengayomi dan melayani rakyat, bukan yang menindas, mencederai rasa keadilan dan lebih berpihak kepada pemilik modal serta oligarki.
Hal tersebut dikatakan oleh pegiat demokrasi dan hukum yang juga Eksponen Angkatan Reformasi 98 Andrianto Andri kepada KBA News, Rabu, 12 November 2025 menyikapi sudah dilantiknya Komisi itu oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jum’at, 7 November lalu. Jimly sebagai Ketua merangkap anggota dan anggota-anggota lain yaitu Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Otto Hasibuan, Supratman Andi Agtas, Tito Karnavian, Listyo Sigit Prabowo, Idham Aziz, Bahauddin Boti dan Ahmad Dofiri.
Nama-nama yang ditunjukkan Presiden itu, kata Andrianto, punya reputasi besar. Ada Kapolri yang masih aktif dan tiga mantan Kapolri. Mereka itu tentunya sangat mengerti dan pengalaman dalam mengelola institusi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) itu. Enam orang adalah pakar dan pejabat sipil yang reputasinya tidak perlu diragukan lagi.
Dengan nama-nama besar itu, tambah mantan Sekjen Pro Demokrasi (Prodem) tentiu akan muncul dinamika dan perdebatan bagaimana seharusnya institusi itu dikelola untuk kepentingan pelayanan kepada masyarakat. Walaupun diakui juga akan ada kekhawatiran melencengnya peran Polri dimulai oleh era Tito, dilanjutkan oleh Idham Aziz dan diteruskan oleh Kapolri sekarang Listyo Sigit Prabowo.
Ada kesan, sejak Tito, Polri lebih berpihak kepada pemilik modal dari pada kepentingan rakyat. Polri juga terkesan menjadi alat kekuasaan untuk menindas aspirasi masyarakat yang turun ke jalan.Tito bertindak keras kepada elemen demokratis pendukung Capres Prabowo yang memprotes hasil Pilpres di depan Banwaslu pada 21 Mei 2019 di mana waktu itu diduga banyak memakan korban dari pendukung Prabowo.
Pada masa Idham Aziz, aparat Polri terlibat dalam rekayasa pembunuhan enam pengawal Habib Rizieq yang terkenal dengan Tragedi Km 50 Jalan Tol Jagorawi. Sedangkan pada masa Sigit terjadi Tragedi Kanjuruhan di Malang dimana ratusan pendukung sepakbola meregang nyawa di stadion Kabupaten Malang itu. Terakhir di masa Sigit juga kerusuhan Agustus 2025 yang membuat semakin kencangnya tuntutan untuk dilakukan Reformasi di tubuh Polri.
Terkesan sangat memihak
Dalam hal ijazah palsu Jokowi, Polri juga terkesan sangat berpihak kepada mantan Presiden itu. Dimaklumi melesatnya karir Listyo karena dia kenal Jokowi sejak menjadi Kapolres Solo ketika Jokowi menjabat sebagai Walikota. Puncaknya adalah ketika Polri menjadikan delapan orang sebagai tersangka pencemaran nama baik mantan Presiden itu.
Dengan segala capaian Polri yang tidak mengesankan itu, kata Andri, wajar kalau ada yang pesimis atas terbentuknya Komisi itu. Tetapi dengan adanya nama-nama yang berintegritas tinggi harapan untuk perbaikan masih sangat besar. “Kita meyakini terbentuknya Komite Reformasi Polri untuk tujuan memperbaiki institusional Polisi yang Profesional sebagai Bayangkara Negara,” kata peraih gelar magister ilmu politik dari Universitas Prof Dr Moestopo itu.
Yang harus dingat dan diperhatikan, tambahnya, jaditiri Polri itu milik Negara bukan alat kekuasaan Pemerintah belaka. Jimly dan anggota Komisi harus bekerja cepat yaitu dalam tiga bulan selesai. Harus diakui, memang tidak mudah untuk menjawab tuntutan masyarakat yang merasakan 10 tahun era Jokowi, Polri jatuh ke titik nadir. Polri sangat intensi sebagai alat pukul kekuasaan, sehingga adigium yang muncul istilah Dwi Fungsi Polri yang mirip era Orba Dwi tentang Fungsi ABRI.
“Kita berharap Prof Jimly juga concern terhadap kasus Fitnah Ijazah Jokowi yang membuat Roy Suryo dan 7 lainnya jadi tersangka oleh Polda Metro. Yang membesarkan hati, dia berpendapat bahwa kasus Ijazah palsu Jokowi harus dilakukan pembuktian terlebuh dulu di Pengadilan TUN karena menyangkut obyek sengketa tata usaha negara tentang keabsahan Ijazah Kepala Negara,” teasnya.
Bila, PN TUN bisa membuktikan bahwa ijazah itu asli maka Tuduhan Roy Suryo dkk berakibat hukum, meski saja terjadi restorative justice. Namun bila ijazah terbukti palsu konsekwensinya harus ada pemulihan nama baik korban semisal Bambang Tri dan Gus Nur yang sudah terlanjur dipenjara karena mengungkapkan kebenaran.
“Ini jelas bukan ranah pidana seperti yang dikatakan Pak Jimly dan Komjen Pur Susno Duadji. Jika TUN menyatakan sebaiknya, maka Poldapun tidak perlu sungkan terbitkan SP 3 untuk Roy Suryo dan 7 tersangka lainnya,” demikian Andrianto Andri. (AM)
