Daily News | Jakarta – Perkembangan politik terkini menunjukkan Presiden Jokowi tengah menggunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai alat untuk menekan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal itu terlihat jelas pada kasus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi setelah mengungkap kejahatan Jokowi dan menyerahkan barang bukti kepada Connie Rahakundini Bakrie yang saat ini berada di Rusia.
Pengamat sekaligus analis politik Muslim Arbi mengemukakan hal itu kepada KBA News, Sabtu, 11 Januari 2025, mengomentari pertarungan politik antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan mantan kadernya, Jokowi. Megawati mengeluarkan Jokowi dan keluarganya dari PDIP, yang kemudian dibalas dengan menggunakan KPK untuk mendakwa Hasto.
Menurut Arbi, konflik antara Jokowi dan PDIP sudah berlangsung sejak lama. Tensinya semakin memuncak menjelang Pilpres 2024. PDIP mendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai calon presiden dan wakil presiden, sedangkan Jokowi mendukung Prabowo-Gibran, putranya.
Usai Pilpres 2024, Mahkamah Konstitusi menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang yang dilantik pada 20 Oktober 2024. Jokowi mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden dan PDIP akhirnya mengeluarkannya beserta putra dan menantunya. Pengusiran ini semakin memanas, apalagi PDIP tengah mempersiapkan diri untuk kongres mendatang.
Sebelum lengser, Jokowi membentuk panitia seleksi untuk memilih pimpinan dan komisioner KPK yang baru. Namun, hal itu melanggar UU KPK karena Jokowi tidak diperbolehkan mengangkat pimpinan KPK baru pada periode keduanya. Di tengah kontroversi ini, KPK menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus Harun Masiku.
Arbi menilai penetapan tersangka Hasto oleh KPK terkesan dipaksakan. Kasus Harun Masiku yang buron itu sudah berlangsung bertahun-tahun, namun KPK baru menggeledah rumah Hasto beberapa waktu lalu untuk mencari bukti, padahal sebelumnya mengaku sudah cukup bukti. Pemeriksaan Wahyu Setiawan yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap pun kembali menimbulkan pertanyaan.
“Ada kejanggalan yang mencolok dari tindakan KPK. Mereka masih memanggil mantan komisioner KPU untuk diperiksa. Itu menunjukkan KPK masih mencari bukti. Sebelum menetapkan Hasto sebagai tersangka, seharusnya KPK sudah punya bukti yang cukup,” kata Arbi.
Tingkah laku komisioner dan penyidik KPK itu, menurut Arbi, menimbulkan kecurigaan. Banyak pengamat menilai KPK hanya ingin menyenangkan Jokowi karena menyetujui pimpinannya saat ini. Penetapan tersangka secara paksa dan ancaman penjara terhadap Hasto bisa jadi merupakan langkah politik Jokowi untuk membalas PDIP yang telah memecat Hasto beserta keluarganya.
“Kesan yang ada, KPK digunakan sebagai instrumen politik dalam konflik antara Jokowi dan PDIP. Publik melihat KPK dimanfaatkan Jokowi untuk menyasar dan menghancurkan PDIP dengan mendakwa Hasto, dengan target masa depan seperti Yasonna Laoly dan Megawati,” imbuh Arbi.
Ia pun menyayangkan KPK yang terkesan mengusung agenda politik dalam menekan PDIP sebagai bagian dari agenda terselubung Jokowi. “Menyedihkan melihat Jokowi berupaya merongrong PDIP, partai yang membantunya naik dari wali kota menjadi gubernur, lalu presiden. Publik melihat KPK sebagai alat intrik politik Jokowi. Ini tidak masuk akal dan transparan,” ujarnya.
Arbi menilai KPK telah menjadi instrumen politik untuk menekan lawan-lawan Jokowi, sebagai imbalan atas dukungan Jokowi terhadap pimpinannya di akhir masa jabatannya. “Menurut saya, pimpinan KPK saat ini tidak sah dan harus dibubarkan, dengan panitia seleksi baru yang ditunjuk Presiden Prabowo untuk menyelamatkan KPK,” pungkasnya.
Jika Prabowo tidak bertindak, publik akan melihat KPK sebagai alat politik untuk memperpanjang kekuasaan Jokowi. “Ini mengkhianati misi KPK yang sebenarnya, yang dibentuk untuk melawan korupsi dan bukan sebagai alat kontrol politik. Pimpinan KPK saat ini harus dibubarkan,” kata Arbi. (AM)
Discussion about this post