Daily News | Jakarta – Pemerintah yang dihasilkan dari pemilu sejak Reformasi dinilai belum mampu mewujudkan tujuan mulia di Konstitusi
Banyak kalangan menilai, sejak Reformasi, dari pemilu demi pemilu, dari satu periode ke periode lainnya, belum berhasil mensejahterakan rakyat Indonesia. Demokrasi yang menjadi buah dari Reformasi, juga terlihat belakangan ini mengalami kemunduran.
Substansi demokrasi semakin jauh. Politik uang kian terasa. Bahkan, pemilu terakhir dianggap paling brutal dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Dari calon legislatif (caleg), calon kepala daerah (cakada), hingga calon pemimpin negara, semua seolah tidak dapat lepas dari cengkeraman politik uang, intimidasi, serta praktik pembelian suara.
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Ariswan, M.Si., menyampaikan bahwa kondisi ini merupakan cerminan realitas kehidupan bangsa Indonesia saat ini. “Terutama dalam dua periode pemilu terakhir, di mana kekuatan uang memainkan peran yang semakin dominan,” katanya saat dihubungi KBA News, Kamis, 20 Oktober 2024.
Menurut Prof. Ariswan, cita-cita kemerdekaan telah tertulis dengan jelas dan terpatri bagaikan tinta emas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, realitas politik pasca-Reformasi menunjukkan sebaliknya.
Dalam konteks ini, cita-cita besar bangsa, seperti yang tertuang dalam sila kelima Pancasila—keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—seolah masih jauh dari kenyataan. “Pemerintah yang dihasilkan dari pemilu sejak Reformasi dinilai belum mampu mewujudkan tujuan mulia tersebut,” ungkapnya.
Ironisnya, pandangan keilmuan para ahli pun terbelah. Sebagian intelektual yang mendukung pemerintah cenderung melihat situasi ini sebagai bagian dari langkah akademik yang sejalan dengan kebijakan pemerintahan.
Namun, ada juga kalangan ahli yang berpegang teguh pada kejujuran ilmiah mereka dan menilai bahwa kebijakan pemerintah saat ini jauh dari cita-cita kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dengan darah dan pengorbanan.
Prof. Ariswan menegaskan pentingnya kesadaran kolektif dari seluruh politisi Indonesia. “Mereka diharapkan kembali kepada hati nurani, di mana kekuasaan seharusnya digunakan untuk mengabdi kepada negeri, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” tegasnya.
Mengabdi kepada negeri melalui kekuasaan, terutama di posisi presiden, semestinya semata-mata ditujukan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dia mengatakan, tantangan terbesar yang harus dihadapi saat ini adalah bagaimana membersihkan politik dari cengkeraman kekuasaan uang yang telah merajalela, agar agenda perubahan yang diidam-idamkan oleh jutaan rakyat bisa benar-benar terlaksana.
Kembali ke hati nurani
Sementara itu, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof. Dr. Ariswan, M.Si., menyerukan kepada para politisi di Indonesia untuk kembali kepada hati nurani mereka. Ia menegaskan bahwa kekuasaan semestinya digunakan sebagai sarana pengabdian kepada rakyat, bukan untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. “Politik harus kembali pada tujuan utamanya, melayani dan mengabdi kepada negeri,” katanya, saat dihubungi KBA News, Minggu, 13 Oktober 2024.
Menurut Prof. Ariswan, politik uang yang semakin marak dalam dua pemilu terakhir telah menggerogoti semangat demokrasi yang dibangun sejak Reformasi 1998. Demokrasi, yang seharusnya menjadi jalan bagi tercapainya keadilan sosial, justru semakin terseret dalam cengkeraman kekuatan uang.
“Peran uang dalam politik saat ini begitu dominan, dan ini menciptakan ketidakadilan yang nyata dalam proses pemilihan pemimpin bangsa,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, praktik politik uang telah menciptakan distorsi besar dalam pemilihan umum di Indonesia. Tidak hanya calon legislatif, tapi juga calon kepala daerah dan presiden, terjebak dalam sistem di mana kekuatan uang lebih berpengaruh daripada kualitas kandidat. “Uang menjadi alat utama untuk memenangkan suara, menggeser visi, misi, dan integritas calon,” tegasnya.
Dalam pandangan Prof. Ariswan, situasi ini membuat Indonesia semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial yang tertuang dalam sila kelima Pancasila. “Pemilu demi pemilu sejak Reformasi belum berhasil mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya. Hal ini, lanjutnya, semakin diperburuk dengan ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh segelintir elit politik yang memegang kendali atas kekuatan finansial.
Menurut Prof. Ariswan, situasi ini seharusnya menjadi refleksi bagi para pemimpin dan politisi di negeri ini. Mereka harus mengambil langkah serius untuk membebaskan politik dari pengaruh uang yang telah mengakar. “Tantangan terbesar kita saat ini adalah membersihkan politik dari kekuatan uang agar demokrasi yang kita idamkan benar-benar bisa terwujud,” katanya.
Makanya, kata dia, sebagai akademisi, berharap agar politisi kembali kepada hati nurani agar demokrasi yang dicita-citakan Reformasi dan Keadilan Sosial bisa terwujud di negeri tercinta. “Pendiri republik sepakat demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa,” tutur Prof Ariswan. (HMP)