Daily News | Jakarta – Langkah Presiden terpilih Prabowo Subianto menggandeng semua partai termasuk yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres 2024 kemarin mencemaskan kalangan masyarakat sipil terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Karena bakal tidak ada partai oposisi yang akan menjadi penyeimbang pemerintahan mendatang.
Akademisi senior senior Abdul Madjid Sallatu menilai setidaknya ada tujuh hal yang membuat Prabowo mau tidak mau membangun koalisi gemuk dengan tidak menyisakan satu partai politik pun di luar pemerintahan.
Pertama, Presiden terpilih memiliki utang politik yang tidak kecil nilainya, baik pada perorangan, kelompok maupun parpol. Kedua, suka atau tidak suka, banyak yang menganggap pemerintah periode 2024-2029 ini mengandung toxic yang telah sejak awal melekat pada tubuh pemerintahan.
Ketiga, sejak Prabowo-Gibran terpilih, sudah tercermin kompleksitas pengelolaan kekuasaan yang sangat tidak sederhana yang akan hadir dalam tubuh pemerintahan sendiri.
Keempat, warisan beban pemerintahan sebelumnya, di samping bersifat multidimensi, juga sangat mendasar sifatnya untuk bisa mampu merajut kinerja kepentingan publik, dalam makna sejatinya masyarakat luas yang diayominya.
Kelima, dinamika geopolitik global semakin sulit diprediksi dan diantisipasi. Keenam, kehidupan 40 persen masyarakat lapisan terbawah sebenarnya sudah sangat rawan dan memprihatinkan. Ketujuh, degradasi ecosystem lingkungan hidup tetap akan mengancam kehidupan masyarakat luas.
“Ketujuh anggapan dasar ini tidak bisa dikatakan tidak memiliki dukungan realitas, yang cakupan bahasan sangat tidak bisa disederhanakan,” jelas pensiunan dosen Universitas Hasanuddin, Makassar ini, kepada KBA News Selasa, 15 Oktober 2024.
Oleh karena itu, katanya menambahkan, bisa dipahami bila pengendali kekuasaan menginginkan hadirnya wawasan unity of command untuk meramu skema kebijakan pemerintahan melalui koalisi besar partai politik. Mungkin dalam kaitan ini makna keberlanjutan ingin diwujudkan.
“Lontaran awalnya, Indonesia sepatutnya memiliki jalan demokrasinya sendiri. Entah bagaimana mengkanalisasi aspirasi kepentingan yang sudah demikian deras arusnya saat ini di tengah telah luluhnya kepercayaan masyarakat baik pada kebijakan pemerintah maupun wawasan keputusan politik yang mendasarinya,” ucapnya.
Dia menengarai Pemerintahan Prabowo 29, tidak banyak memiliki alternatif pilihan dalam mengerangkakan skema kebijakannya untuk sepanjang jangka menengah ke depan. Apalagi, ketujuh anggapan dasar di atas bisa saling tabrak menabrak maupun bersenyawa antara satu dengan lainnya.
“Bisa saja akan ada semacam kegamangan dalam mengelola kewenangan dan kekuasaan pada rezim 24-29 ini. Semoga saja tidak terperangkap pada pilihan mencari yang mudah diimplementasikan. Karena bisa saja bermakna bukan sekadar keberlanjutan, tetapi meningkatkan bobot kemutlakan dalam berkuasa. Semoga tidak demikian adanya,” demikian Abdul Madjid Sallatu.
Sebagaimana diketahui, empat partai politik yang bukan pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2029 lalu, yaitu NasDem, PKB, PKS, dan termasuk PDIP sudah memastikan akan mendukung pemerintah. Dukungan dari PDIP sendiri memang belum disampaikan secara langsung oleh sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Namun di tengah Prabowo menyusun kabinetnya saat ini, Bendahara Umum DPP PDIP Olly Dondokambey menyatakan pihaknya baru akan mengajukan nama calon menteri saat pertemuan antara Megawati dengan Prabowo terjadi. “Ya iya, setelah Bu Mega (bertemu Prabowo),” kata Olly kemarin. (HMP)