Daily News | Jakarta – Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof. Dr. Dimyati M.Si., menyatakan, money politics atau politik uang pasca Reformasi 1998 semakin ke sini kian mengakar di tengah-tengah masyarakat. Era Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tidak sepenuhnya bebas dari fenomena ini, namun di era Jokowi kian merajalela.
Sebagai akademisi, Prof Dimyati mengaku prihatin dengan kondisi ini. “Saya prihatin dengan kondisi politik uang di Indonesia, yang semakin merebak pasca reformasi, terutama di era Jokowi 2014, 2019, hingga 2024 kemarin,” katanya saat dihubungi KBA News, Minggu, 13 Oktober 2024.
Dia menilai, kekuasaan uang memang tidak bisa dipisahkan dari agenda politik nasional yang dikuasai oleh pemodal. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan ekonomi dan berakibat pada ketidakadilan dalam perpolitikan nasional. Ketidakadilan ekonomi yang dikuasai oleh sebagian kecil rakyat Indonesia, dengan kekuatan uang mereka, menjadikan politik Indonesia sebagai mainan.
“Ini tidak sehat, karena politik uang tujuannya untuk memengaruhi keputusan politik, termasuk Pemilu, Pilkada, dan Pileg. Praktik ini termasuk pemberian uang, gratifikasi, atau pengaruh finansial lainnya,” jelasnya.
Di era Jokowi, semua tahu siapa pihak di belakangnya yang mengendalikan ini. Mereka telah merusak demokrasi yang kita cita-citakan sejak lahirnya reformasi 1998 tersebut. Dampak negatifnya sangat luar biasa bagi bangsa ini.
Pertama, politik uang menghasilkan kualitas pemimpin yang rendah. Jadi, siapa yang memiliki uang, dialah yang bisa berkuasa atau terpilih. “Politik uang cenderung menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas, karena mereka terpilih bukan karena visi, misi, gagasan, atau program kerja, melainkan karena kekuatan uang,” katanya.
Prof Dimyati pun menduga kuat, terpilihnya Jokowi dalam dua periode tidak bisa dipisahkan dari politik uang. “Di era itu, politik uang juga merambah di banyak daerah, Pilkada telah menunjukkan gejala yang sangat mencemaskan,” tegasnya.
Kedua, dampak negatif politik uang adalah dominannya kepentingan pribadi. Politisi yang memainkan politik uang cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan masyarakat dan bangsa.
Ketiga, politik uang akan mengakibatkan korupsi yang sistematis. Praktik ini memperkuat daya koruptif di kalangan pejabat publik dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. “Ini sangat nyata terjadi, terutama dalam satu dekade pemerintahan Jokowi,” ujarnya.
Dampak negatif lainnya adalah pengaruh terhadap partisipasi publik. Pertama, politik uang bisa menyebabkan apatisme pemilih. Ketika politik uang menjadi hal yang umum atau wajar, masyarakat bisa merasa bahwa suara mereka tidak berarti, yang menyebabkan rendahnya partisipasi dalam pemilu.
Selanjutnya, politik uang menciptakan distorsi dalam proses pemilihan. Kandidat yang memiliki sumber daya finansial besar akan memiliki keuntungan tidak adil dibandingkan kandidat berkualitas tetapi miskin. Ini berbahaya bagi partisipasi publik di masa mendatang. (DJP)