Daily News | Jakarta – Sejak Reformasi 1998, pengaruh kekuasaan uang dalam politik semakin kuat mencengkeram masyarakat Indonesia. Meskipun fenomena money politics atau politik uang tidak sepenuhnya absen di era Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di bawah pemerintahan Joko Widodo, praktik ini justru semakin meluas.
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof. Dr. Dimyati M.Si., menyatakan, memang ada solusi untuk menanggulangi kondisi ini. “Perlu upaya mengembalikan substansi demokrasi agar tetap tumbuh serta menghasilkan pemimpin yang berintegritas, bukan karena uang,” katanya saat dihubungi KBA News, Senin, 14 Oktober 2024.
Menurut dia, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh agar politik uang bisa ditekan. Pertama, perlu ada regulasi yang ketat. Pemerintah dan lembaga pemilu perlu memberlakukan regulasi yang lebih tegas terhadap praktik politik uang. Selama ini regulasi tersebut sangat lemah.
Bisa jadi akar dari persolannya bermula dari saat seleksi panitia untuk pengisian komisioner di KPU dan Bawaslu. Diduga kuat ada titipan dari rezim yang berkuasa. Ketika terpilih menjadi komisioner, mereka merasa memiliki utang budi, sehingga kurang netral atau bahkan membiarkan pelanggaran terjadi.
“Ini adalah proses yang buruk dalam menentukan panitia pemilihan umum, semacam kongkalikong antara pemerintah dan DPR untuk menunjuk orang-orang yang dapat diatur,” jelasnya.
Upaya kedua adalah edukasi kepada masyarakat. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya politik uang dan pentingnya memilih berdasarkan kualitas calon, bukan imbalan finansial. “Ini memang tidak mudah, terutama dengan adanya masyarakat yang miskin, tetapi edukasi tersebut harus terus digemakan untuk mengurangi dampak buruk politik uang di masa depan,” jelasnya.
Di sisi lain, DPR sebagai pembuat undang-undang tampak menikmati kondisi saat ini. Mereka berusaha menjaga eksistensinya agar terpilih kembali dan tetap berkuasa. “Jadi, politik uang seperti lingkaran setan, tetapi sebenarnya kunci utamanya ada pada kepemimpinan nomor satu, yakni presiden,” ungkapnya.
Prof Dimyati mengungkapkan, jika seorang presiden memiliki karakter yang baik dan benar-benar ingin demokrasi ditegakkan, peluang demokrasi bisa berjalan dengan baik. “Namun, jika presiden lahir dari politik uang, maka akan sulit menegakkan demokrasi yang kita cita-citakan,” tegasnya.
Kesimpulannya, kata dia, politik uang merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Untuk menjaga integritas proses demokrasi, diperlukan upaya kolektif dari semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat, untuk mendorong praktik pemilihan yang lebih bersih dan transparan. Semua itu kembali pada kepemimpinan presiden.
“Sekali lagi, jika pemimpin tertinggi atau presiden memiliki niat baik untuk memperbaiki demokrasi, maka akan terjadi perubahan yang signifikan,” ungkapnya. (AM)