Daily News | Jakarta – Bukan hanya tidak ada lagi partai yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, tetapi budaya asal bapak senang (ABS) seperti masa Orde Baru hidup kembali di era Prabowo.
Maka, langkah Presiden terpilih Prabowo Subianto menggandeng semua partai termasuk yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres 2024 kemarin mencemaskan kalangan masyarakat sipil terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Karena bakal tidak ada partai oposisi yang akan menjadi penyeimbang pemerintahan mendatang.
Pakar politik Prof. Sukron Kamil mengaku tidak kaget Prabowo berupaya menggaet semua partai politik untuk memperkuat pemerintahannya.
Karena jauh sebelum berupaya mengajak NasDem, PKS, dan PKB bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang diduga sekaligus untuk menjegal pencalonan Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024, Prabowo tampak memang tidak begitu memperdulikan etika dan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Hal itu terlihat dari berbagai pernyataan dan sikap tokoh yang kini masih menjabat Menteri Pertahanan itu saat masa-masa kampanye Pilpres 2024 lalu.
“Bisa dilihat saat kontestasi Pilpres, dalam benak Prabowo itu, demokrasi bukan demokrasi substansial, tapi demokrasi prosedural yang bagi dia, yang penting rakyat memilihnya, (lewat) apa pun caranya termasuk misalnya ada cawe-cawe Presiden Jokowi apalagi diduga ada pemberian bansos,” jelasnya kepada KBA News Rabu, 16 Oktober 2024.
Tidak hanya itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menunjukkan bukti lainnya. Yaitu masa bodoh Prabowo saat Anies dalam debat capres menanyakan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi UU Pemilu soal usia capres-cawapres yang menjadi celah bagi Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai cawapres untuk mendampinginya.
Karena terkait putusan tersebut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memvonis Ketua Hakim MK saat itu, Anwar Usman, telah melakukan pelanggaran etik berat. “Karena itulah jika sekarang juga demokrasinya prosedural, ya wajar juga. Karena dalam benak Prabowo kan demokrasi hanya elektoral.”
Lebih jauh Prof. Sukron menjelaskan ketiadaan partai oposisi pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan sangat mengkhawatirkan. Karena demokrasi sesungguhnya mengharuskan adanya partai yang akan melakukan pengawasan terhadap kekuasaan.
“Harus ada kelembagaan atau partai oposisi. Di Amerika, kalau (Partai) Demokrat menang (Pemilu), Republik yang oposisi. Demikian pula sebaliknya. Di beberapa negara lain juga seperti itu,” papar mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini.
Dia pun menepis pernyataan Prabowo bahwa para pemimpin dan elite politik harus akur yang menurutnya itu sebagai bentuk penolakan terhadap oposisi. Termasuk dia menolak anggapan para pemimpin Indonesia bahkan sejak masa Sukarno yang menyebut demokrasi barat yang menghendaki adanya oposisi tidak sesuai kepribadian Indonesia.
“Kepribadian Indonesia yang mana? Andaikan merujuk pada budaya Sunda dan Jawa yang harus harmoni pun, tetap keharmonian, kerukunan bukan berarti menghilangkan kritik, tidak adanya checks and balances. Di dalam dunia ilmiah, bahkan itu bisa menghancurkan kalau semuanya ‘yes man’,” tegas Prof. Sukron Kamil.
Karena itu akademisi yang produktif menulis ini khawatir, bukan hanya tidak ada lagi partai yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, bahkan bukan tidak mungkin budaya asal bapak senang (ABS) seperti masa Orde Baru akan hidup kembali di era Prabowo.
Terlebih, Prabowo pun sudah mengingatkan elemen politik yang tidak mau diajak bekerja sama agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan, bahkan mantan Danjen Kopassus itu menyebut para pihak tersebut lebih baik menonton saja.
“Apalagi tanda-tandanya, dia minta yang lain menonton saja. Itu bagi saya bencana bagi demokrasi. Subtansi demokrasi menjadi tidak ada. Hanya bajunya saja seolah demokrasi di dalamnya enggak ada,” ungkapnya.
Meski demikian, Prof. Sukron Kamil menambahkan, semua pihak harus sabar menunggu sampai pelantikan menteri kabinet Prabowo-Gibran untuk mengetahui secara pasti apakah benar-benar semua partai bergabung sehingga tidak ada lagi yang menjadi oposisi.
Mengingat, perkembangan terakhir meski sudah diisukan PDIP juga akan mendukung, tapi sampai kini belum ada pernyataan resmi dari Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum. Bahkan NasDem yang sejak awal menyatakan bergabung ke KIM, gabungan partai pendukung Prabowo-Gibran, tapi tidak menyodorkan nama kadernya untuk menjadi menteri.
“Inilah hemat saya bisa berbahaya kalau semua kebijakan tanpa ada satu pun partai yang mengkritisi, kalau benar itu terjadi. Jadi ini semua masih pengandaian. Makanya harus kita tunggu. Jangan-jangan juga dengan masuknya PDIP, KIM Plus bubar. Wallahu a’lam,” demikian tandasnya.
Sebagaimana diketahui, pada Senin-Selasa kemarin, Prabowo telah memanggil sebanyak 48 calon menteri serta 59 calon wakil menteri dan calon kepala badan yang akan memperkuat pemerintahannya ke depan. Selanjutnya, selama dua hari ke depan, Prabowo akan memberi pembekalan kepada para calon pembantunya tersebut.
Meski demikian, Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad kemarin menyampaikan, penetapan menteri dan wakil menteri ini masih dinamis. “Mungkin masih ada satu atau dua (kandidat menteri dan wamen) nanti yang dinamis sampai dengan 18 Oktober dan terakhir 19 Oktober. Itu mungkin masih ada beberapa pertimbangan,” tuturnya.
Soal PDIP sendiri, di tengah pemanggilan sejumlah calon anggota kabinet kemarin, Pramono Anung menyambangi kediaman Prabowo. Namun politikus PDIP ini tidak menyampaikan komentar apa pun kepada awak media. Diduga dia membawa pesan dari Megawati untuk Prabowo.
Sementara itu, poltikus PDIP lainnya, Bambang Wuryanto menyebut, pihaknya belum mengambil sikap resmi terhadap pemerintahan Prabowo. Saat ini ada tiga pendapat di internal PDIP. Yaitu ingin segera bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran, menunda, dan bahkan menolak masuk ke pemerintahan. (HMP)