Daily News | Jakarta – Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 8% pada era Presiden Prabowo, seperti mengulangi rencana mantan Presiden Jokowi 10 tahun lalu.
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% di era pemerintahan Presiden Prabowo dinilai imajinatif setelah kabinet yang dibentuk menjadi lebih dari 100 personel.
Hal ini diungkap oleh Dosen Universitas Paramadina/Ekonom INDEF, Dr. Ariyo DP Irhamna dalam diskusi “Catatan Akkhir Tahun: Investasi dan Industri Sebagai Faktor Kritis Dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8%” yang diikuti KBA News secara daring di Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.
Menurut Ariyo, faktor efisiensi dan efektivitas menjadi penghambat dengan banyak hal terutama penyesuaian-penyesuaian di masing-masing kementerian.
Di RPJPN telah diamanatkan agar Indonesia menjadi negara maju, maka tahun 2025 hingga 2029 harus mencapai 30% pertumbuhan industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi, melalui strategi integrasi investasi domestik dan global.
“Tapi strategi penguatan domestic value change perlu harmonisasi, kebijakan sektoral indutri hulu dan hilir harus saling mendukung, dan tidak parsial,” katanya.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina Dr. Handi Risza Idris mengatakan, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 8% pada era Presiden Prabowo, seperti mengulangi rencana mantan Presiden Jokowi 10 tahun lalu. Ketika itu, Presiden Jokowi juga mempunyai rencana pertumbuhan ekonomi mendekati 8% atau 7% tepatnya.
“Dalam kenyataannya selama 10 tahun Jokowi memerintah, pertumbuhan ekonomi hanya di angka 5%, bahkan jaman covid 19 sempat minus,” kata Handi.
Menurut Handi, bila Indonesia ingin mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target, sebesar 8%, maka harus memperhatikan berbagai hal, terutama investasi yang harus dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
“Unsur yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Investasi bisa merupakan trigger bagi pertumbuhan ekonomi yang bersifat jangka panjang,” kata Handi.
Investasi, kata Handi, merupakan salah satu pengeluaran agregat di mana peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional. Sementara pengeluaran barang modal sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi, dengan penambahan mesin baru, perluasan pabrik dll. akan merupakan stimulus dari peningkatan produksi nasional dan kesempatan kerja.
Potret GDP Indonesia, konstribusi dari PMTB (pertumbuhan modal tetap bruto) ini di bawah konsumsi rumah tangga (29%) dengan pertumbuhan 5,15%. Hal itu menjadi instrument yang tidak bisa dipisahkan dalam menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi. Kinerja perekonomian nasional akan ditunjukkan melalui PDB/GDP dan juga bagaimana PMTB-nya. PMTB adalah kontributor kedua setelah konsumsi rumah tangga di GDP.
Berdasarkan catatan Handi, sejak 2017-2018, nilai investasi melebihi nilai GDP. Sayangnya, hal itu tidak pernah dialami lagi, sampai hari ini. Itu artinya, pertumbuhan investasi terus mengalami penurunan, bahkan di bawah pertumbuhan GDP itu sendiri.
Distribusi investasi terhadap GDP juga menurut Handi, terus menurun. Angka tertinggi ada pada 2015, di mana kontribusi investasi terhadap GDP 32,81%. Setelah itu, terus menurun hingga 2023 lalu yang kontribusinya hanya 29,33%. Itu selaras dengan terjadinya kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami penyusutan yang nilainya tidak sampai 20% (18-19%).
“Hal itulah yang harus disikapi dengan baik, apalagi jika berencana ingin mencapai pertumbuhan 8%,” tutup Handi. (EJP)