Daily News | Jakarta – Kalau kita cermati, ucapan Anies Rasyid Baswedan sebenarnya menggambarkan realitas. Hari ini kita sedang menghadapi masalah serius: bangsa ini seperti berjalan tanpa arah yang jelas, dan rakyat makin bingung harus percaya kepada siapa.
Pernyataan Anies Baswedan mengenai pentingnya kepemimpinan yang membawa optimisme dan solusi nyata menuai perhatian luas. Tak sedikit yang memandang pernyataan tersebut sebagai kritik halus terhadap kondisi pemerintahan saat ini.
Salah satunya datang dari Pemerhati Pasar Uang dan Modal, Hendarto, yang menilai ucapan Anies sebagai refleksi keresahan publik terhadap krisis kepemimpinan nasional. “Kalau kita cermati, ucapan Anies Rasyid Baswedan sebenarnya menggambarkan realitas. Hari ini kita sedang menghadapi masalah serius: bangsa ini seperti berjalan tanpa arah yang jelas, dan rakyat makin bingung harus percaya kepada siapa,” ujar Hendarto kepada KBA News, Kamis, 10 April 2025.
Ia menilai bahwa sejak awal kemerdekaan, Indonesia sering terjebak pada persoalan kepemimpinan yang tidak tuntas. Mulai dari Presiden Soekarno hingga Gus Dur, sebagian besar pemimpin negeri ini berakhir dengan paksaan turun oleh rakyat. Sisanya, hanya mengulur waktu hingga habis masa jabatan sembari membiarkan gelombang protes dan aspirasi rakyat dipatahkan oleh mayoritas koalisi partai di pemerintahan.
Menurut Hendarto, pola ini terus berulang. Kini, di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, masalah tersebut justru kian mengental. “Alih-alih menjadi pemimpin visioner, Prabowo justru tampil sebagai figur yang tersandera oleh kepentingan politik masa lalu,” tegasnya.
Pria yang perah bekerja lama di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ini menyoroti keputusan-keputusan kebijakan Prabowo yang dianggap kurang independen, seperti konsultasi rutin ke Solo sebelum mengambil keputusan penting. Hal ini menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa Presiden hanyalah perpanjangan dari Jokowi, bukan pemimpin yang berdiri sendiri dengan visi kuat untuk membawa bangsa ini maju.
Kritik Hendarto juga menyasar pendekatan Prabowo terhadap isu korupsi. Meski pada awal masa jabatannya, Prabowo menyatakan akan mengejar koruptor hingga ke Antartika, kenyataannya kini muncul narasi baru tentang memberi ruang ‘pengampunan’ bagi koruptor yang bersedia mengembalikan sebagian hasil kejahatannya.
“Ini kan kontradiktif. Ketika rakyat minta koruptor dimiskinkan, pemimpin malah bicara soal belas kasihan terhadap keluarga koruptor. Ini bukan hanya gagal baca emosi publik, tapi juga memberi pesan keliru pada penegakan hukum,” ungkap Hendarto.
Mantan dosen praktisi pasar modal di Universitas Negeri 11 Maret (UNS) Solo ini juga menyinggung pendirian Danantara sebagai wujud ambiguitas kebijakan Prabowo. Alih-alih memperkuat lembaga yang sudah ada seperti Kementerian BUMN, Prabowo justru menciptakan entitas baru dengan kekuasaan luar biasa, tanpa pengawasan yang jelas. “Buat apa ada lembaga super-kuasa kalau rakyat justru makin khawatir nasib uang negara akan disalahgunakan?”
Bagi Hendarto, kondisi ini berujung pada pesimisme kolektif rakyat terhadap kepemimpinan. Ia mengingatkan bahwa kepemimpinan yang tidak kredibel akan melahirkan siklus ketidakpercayaan yang berbahaya.
“Kita masuk masa sulit. Sistem politik telah mengunci ruang koreksi. Rakyat tidak punya opsi nyata untuk memperbaiki kepemimpinan kecuali menunggu periode ini selesai dan berharap penggantinya bukan malah lebih buruk dari hari ini,” kata alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Solo menutup perbincangan. (DJP)
Discussion about this post