Daily News | Jakarta – Enam bulan sejak pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi memimpin Indonesia, sejumlah akademisi menilai belum ada tanda-tanda perbaikan signifikan yang dirasakan masyarakat. Kekecewaan terhadap janji kampanye mulai mencuat, seiring dengan realitas di lapangan yang justru menunjukkan stagnasi, bahkan kemunduran di beberapa sektor.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Muhammad Chirzin, menegaskan bahwa ekspektasi publik terhadap perubahan belum terpenuhi. Dari sektor ekonomi hingga penegakan hukum, indikator menunjukkan hasil yang belum menggembirakan.
“Rakyat merasa harapan tidak sesuai kenyataan. Enam bulan pemerintahan ini berjalan, kita belum melihat arah yang jelas menuju perubahan atau perbaikan,” ujar Prof. Chirzin kepada KBA News, Selasa, 8 April 2025.
Indikator ekonomi belum menjanjikan
Pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2025 tercatat stagnan di angka 5,02%, nyaris sama dengan tahun sebelumnya, dan belum menunjukkan akselerasi sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar terus melemah.
Inflasi bahan pokok juga masih menjadi keluhan utama masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga beras dan minyak goreng mengalami kenaikan hingga 15% dalam tiga bulan terakhir, menyulitkan kalangan menengah ke bawah.
“Tanda-tanda perbaikan belum terasa nyata. Apalagi di sektor ekonomi rumah tangga, masyarakat justru makin tertekan,” kata Prof. Chirzin.
Penegakan hukum dan etika politik dipertanyakan
Selain ekonomi, sektor hukum dan etika politik juga menjadi sorotan. Sejumlah kasus korupsi besar belum tuntas, sementara independensi KPK dinilai terus melemah. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) awal 2025 mencatat menurunnya jumlah OTT (Operasi Tangkap Tangan), disertai dengan penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
“Kita lihat degradasi moral di kalangan pejabat makin dikhawatirkan. Rakyat kecewa, karena tidak ada langkah konkret dalam membersihkan sistem,” tegasnya.
Prof. Chirzin menilai bahwa dalam situasi seperti ini, masyarakat secara alami mencari alternatif harapan. Sosok seperti Anies Baswedan yang kembali aktif berdialog di kampus-kampus besar seperti UGM, UII, dan ITB, menjadi simbol dari kerinduan akan pemimpin yang punya visi jangka panjang dan keberpihakan terhadap rakyat.
“Anies menjadi antitesis dari rezim saat ini. Sambutan terhadap beliau bukan sekadar popularitas, tapi simbol kehausan publik terhadap narasi perubahan yang mencerahkan,” jelasnya.
Kerinduan pemimpin berintegritas
Dalam berbagai kesempatan, Anies menyuarakan gagasan tentang demokrasi yang sehat, penegakan hukum yang adil, dan etika dalam kepemimpinan nasional. Menurut Prof. Chirzin, hal inilah yang kini sangat dirindukan masyarakat.
“Kondisi hari ini seperti keluar dari mulut buaya, lalu masuk ke mulut harimau. Tapi harimau itu meong. Harapan besar yang pernah dijanjikan kini tinggal bayang-bayang,” ucapnya dengan nada satir.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintahan yang kuat bukan hanya soal stabilitas politik, tapi soal keberanian untuk mengubah sistem yang korup dan tidak berpihak pada rakyat.
“Enam bulan pertama ini seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan arah, tapi yang terlihat justru ketidakpastian publik,” pungkas Prof. Chirzin. (DJP)
Discussion about this post