Daily News | Jakarta – “Bagaimana delapan orang dijadikan tersangka tapi alat bukti utama yaitu ijazah analog Joko Widodo tidak ditampilkan? Jika benar asli dan dapat diverifikasi, kenapa takut?”
Suhu polemik ijazah Jokowi belum juga menurun. Dinamika hukum terkait polemik ijazah tersebut memasuki babak baru dalam gelar perkara khusus (GPK) yang digelar di Polda Metro Jaya pada awal pekan ini.
Klaster kedua yang terdiri dari para akademisi—Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dokter Tifa hadir dengan sokongan tim hukum baru bernama BALARRT (Barisan Pembela Roy, Rismon, Tifa) yang dipimpin oleh pakar hukum tata negara Refly Harun.
Refly Harun menegaskan bahwa pembentukan BALARRT merupakan langkah strategis untuk menyatukan kekuatan para prinsipal yang sempat terpisah. “Jadi pengantinnya prinsipal, pengiringnya jangan cekcok. Kami bekerja sinergi demi kepentingan prinsipal yang kini sudah kompak,” ujar Refly dalam konferensi pers yang dihadiri KBA News.
Tuntutan utama tim ini adalah transparansi fisik. Rismon Sianipar, ahli digital imaging, mendesak agar penyidik tidak mengulangi kebuntuan GPK Bareskrim pada Juni lalu. Ia mempertanyakan logika hukum penetapan tersangka tanpa kehadiran bukti fisik utama.
“Bagaimana delapan orang dijadikan tersangka tapi alat bukti utama yaitu ijazah analog Joko Widodo tidak ditampilkan? Jika benar asli dan dapat diverifikasi, kenapa takut?” gugat Rismon.
Pakar telematika Roy Suryo melontarkan kritik pedas terkait penggunaan Pasal 32 dan 35 UU ITE terhadap dirinya. Sebagai salah satu perumus undang-undang tersebut, Roy merasa ironis dijerat pasal rekayasa dokumen elektronik.
Ia justru menuding adanya “bisikan jahat” kepada penyidik karena seharusnya pasal tersebut menyasar pihak lain yang menyebarkan file ijazah yang tampak terdistorsi di media sosial.
Tak hanya soal UU ITE, Roy Suryo membawa temuan krusial terkait arsip skripsi di UGM. Berdasarkan pengamatannya pada April 2025, ia bersumpah bahwa skripsi asli Jokowi tidak memiliki lembar pengujian. Ia juga membongkar anomali gelar pada lembar pengujian yang beredar di publik.
“Nama Prof. Dr. Ir. Ahmad Sumitro di lembar itu [tahun 1985] adalah palsu. Beliau baru dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Maret 1996. Tidak mungkin tahun 1985 sudah disebut profesor,” tegas Roy.
Dr. Tifa turut menyoroti hak warga negara dalam mendapatkan kepastian informasi. Ia mengingatkan kembali pernyataan Presiden Jokowi pada Juli lalu yang menyebut bahwa ijazahnya telah disita polisi.
“Jika ijazah tersebut ada di kantor ini, tidak ada alasan bagi Polda Metro Jaya untuk tidak menunjukkannya. Tanpa itu, apa artinya GPK diselenggarakan?” cetusnya.
Untuk memperkuat argumen teknis, tim BALARRT menghadirkan dua ahli independen, Dr. Ridho Ahmadi dan Prof. Tono Saksono. Mereka menuntut adanya adu argumentasi yang seimbang berdasarkan kaidah ilmiah digital image processing dan AI, bukan sekadar opini sepihak dari ahli yang dihadirkan penyidik. (AA)




























