Daily News | Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk segera menelusuri dugaan markup anggaran terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh. Proyek ini dinilai sudah banyak masalah dan kejanggalan sejak awal pembangunan.
Begitu, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan mengatakan sangat aneh jika KPK masih menunggu laporan masyarakat terkait dugaan markup proyek sepanjang 142,3 km tersebut.
Ia melihat, indikasi markup sangat jelas dengan adanya perbedaan signifikan antara China dan Indonesia dalam pembangunan KCJB. Dalam hal ini, China hanya menghabiskan sebesar 17 hingga 30 juta dolar AS per km. Sedangkan Indonesia harus menghabiskan 41,96 juta dolar AS per km.
Anthony menilai, kereta cepat Shanghai-Hangzhou sepanjang 154 km dengan kecepatan maksimum 350 km hanya menelan biaya pembangunan sebesar 22,93 juta dolar per km.
“Artinya, biaya Proyek KCJB lebih mahal sekitar 19 juta dolar AS per km dibandingkan Proyek Shanghai-Hangzhou tersebut, atau kemahalan sekitar 2,7 miliar dolar AS. Patut diduga, nilai Proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut karena penggelembungan, alias markup,” ujar Anthony, melalui keterangan yang diterima KBA News, Kamis, 23 Oktober 2025.
Menurutnya markup KCJB sangat kasar dan serakah, terlebih tidak adanya transparansi keuangan dalam proses pembangunannya. Hal ini memperkuat adanya markup anggaran.
Anthony juga mengatakan, dugaan markup sangat kuat, karena proses evaluasi Proyek sangat tidak profesional dan cenderung berpihak kepada pihak tertentu, sehingga terindikasi melanggar proses pengadaan barang publik.
“Markup ini sangat kasar dan sangat serakahnomics. Karena, data investasi Proyek Kereta Cepat di dunia sangat transparan dan dapat diketahui oleh siapapun dengan mudah,” tuturnya.
Lanjut Anthony, keterlibatan Jepang dalam pembangunan KCJB sejatinya hanya bersifat pendampingan untuk memenuhi syarat proses tender. Keikutsertaan Jepang nampaknya dimanfaatkan hanya untuk mengatrol harga Kereta Cepat China agar bisa mendekati penawaran dari Jepang.
Selama proses berlangsung, China dianggap lebih menguntungkan ketimbang Jepang karena tidak meminta jaminan APBN. Sehingga tidak heran jika penawaran China yang awalnya 5,5 miliar dolar AS kemudian naik menjadi 6,02 miliar dolar AS, mendekati harga penawaran Jepang sebesar 6,2 miliar dolar AS.
“Awalnya China menerapkan skema business to business, yang sekarang ternyata terbukti bohong besar: utang Proyek Kereta Cepat China sekarang minta disuntik dana APBN,” kata Anthony.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Anthony melihat tidak ada alasan bagi KPK untuk mengabaikan dugaan markup proyek KCJB. Saat ini KPK harus betul-betul turun langsung menelusuri dugaan penggelembungan anggaran tersebut. (AM)




























