Daily News | Jakarta – Masyarakat menerima banyak amplop dari berbagai kandidat yang jor-joran merogoh kocek, maka gelontoran bansos luar biasa menjelang Pemilu
Sejak era Reformasi, politik uang semakin menguasai panggung demokrasi Indonesia. Muhammad Adi Alim, mantan calon legislatif (caleg) Partai Demokrat di Yogyakarta, menilai bahwa reformasi politik telah menyimpang jauh dari tujuannya. “Politik uang adalah bentuk kejahatan demokrasi. Ini menggadaikan demokrasi,” ujar Adi, aktivis pro-demokrasi.
Menurut Adi, politik uang telah menjadi fenomena yang semakin merajalela sejak Pemilu pertama pasca-Reformasi. “Pemilu 2004 dianggap yang paling baik pasca-Reformasi, dengan integritas dan netralitas yang masih terjaga. Namun, setelah itu, demokrasi mulai terkikis, dan politik transaksional semakin liar,” ungkapnya saat berbicara dengan KBA News, Selasa, 15 Oktober 2024.
Adi menjelaskan bahwa fenomena brutalitas politik uang tidak hanya datang dari para kandidat yang berlomba-lomba menyuap pemilih, tetapi juga dari masyarakat itu sendiri. Permintaan masyarakat untuk mendapatkan imbalan langsung dari kandidat sebelum memberikan suara telah menjadi kebiasaan.
Fenomena ini menandakan bahwa pola pikir masyarakat telah berubah menjadi transaksional, yang menimbulkan dampak serius terhadap proses demokrasi. Masyarakat mulai melihat pemilu sebagai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, dan hal ini membuka ruang bagi para kandidat untuk memanfaatkan situasi tersebut dengan uang.
Adi Marz, sapaan akrabnya. juga menyoroti betapa brutalnya Pemilu 2024. Jika Pemilu 2019 dianggap keras, maka Pemilu 2024 dinilai lebih brutal. “Masyarakat menerima banyak amplop dari berbagai kandidat, di sisi lain para kandidat pun jor-joran merogoh kocek dalam-dalam. Juga gelontoran bansos yang luar biasa jelang Pemilu,” katanya.
Untuk mengatasi brutalitas politik uang, Adi menekankan pentingnya perubahan pola pikir dan pendekatan kepada masyarakat. Menurutnya, masyarakat perlu diberikan alternatif pendekatan yang lebih positif dan produktif. “Pendekatan religius, program-program nyata, atau tawaran konkret dari kandidat seharusnya menjadi cara untuk memenangkan hati masyarakat, bukan dengan uang,” tegasnya.
Selain itu, Adi juga mengkritik para kandidat yang cenderung mengandalkan kekuatan finansial daripada visi dan kompetensi. Mereka yang rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar biasanya menunjukkan kekurangan dalam kapasitas intelektual dan integritas. “Banyak kandidat lebih fokus pada berapa banyak yang bisa mereka keluarkan, bukan apa yang bisa mereka tawarkan dalam hal visi atau program yang membangun,” tambahnya.
Brutalitas politik uang, menurut Adi, pada dasarnya adalah perjudian yang berisiko tinggi bagi para pelakunya. Tidak ada jaminan bahwa dengan memberi uang, suara yang mereka beli akan benar-benar mendukung mereka. “Politik uang adalah perjudian yang konyol. Tidak ada kepastian bahwa memberi uang akan berarti kemenangan,” jelasnya.
Namun, ia juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa tanpa perubahan signifikan dalam pola pikir masyarakat dan pendekatan politik, demokrasi Indonesia akan semakin terperosok dalam lingkaran setan kekuasaan uang. “Indonesia berisiko kehilangan esensi demokrasi jika suara rakyat terus diperjualbelikan seperti ini,” tuturnya. (HMP)