Daily News | Jakarta – Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 116 kasus kekerasan oleh kepolisian sepanjang Januari-November 2024, termasuk diantaranya adalah pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, hingga penangkapan werga sipil secara sewenang-wenang. #kbanews
Pada tanggal 18 Januari 2025, Aksi Kamisan akan genap berusia 18 tahun. Selama kurun waktu yang hampir mencapai dua dekade ini, korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM konsisten berupaya merawat ingatan, melawan lupa, dan mendesak pertanggungjawaban negara atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia.
Berbagai rezim pemerintahan berganti, namun tak ada yang berhasil dan berkomitmen menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM secara hukum.
Justru, upaya penuntasan dilakukan melalui mekanisme non-yudisial yang menggadaikan martabat dan keadilan bagi korban, yang tidak berorientasi untuk memenuhi hak-hak korban secara menyeluruh.
Pasca upaya penyelesaian yang dilakukan melalui Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM), Negara pada masa itu menyatakan bahwa penuntasan non-yudisial tidak akan menghentikan upaya penuntasan yang berkeadilan secara hukum.
Namun, meski dua tahun berlalu sejak Presiden Joko Widodo mengakui 12 kasus pelanggaran berat HAM pada 11 Januari 2023, tidak ada lerobosan hukum atau bahkan kemauan politik untuk benar-benar menghadirkan keadilan bagi korban.
Bahkan, hingga hari ini penuntasan pelanggaran beral HAM tidak menjadi bagian dari program kerja pemerintah. Padahal, banyak pihak telah mengingatkan Negara atas langgung jawabnya untuk melakukan langkah nyata penyelesaian secara hukum.
Dalam hal ini, Dewan HAM PBB juga turut menyampaikan kepada Pemerintah Indonesia pada 13 Januari 2023 untuk melanjutkan proses peradilan yang bermakna, inklusif dan partisipatif, yang menjamin kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan peristiwa.
Ketiadaan akuntabilitas telah menguatkan iklim impuritas dan menyebabkan keberulangan berbagai pole-pola pelanggaran HAM, termasuk represi kebebasan berekspresi, perampasan tanah masyarakat adat, hingga brutalitas aparat yang terus berulang tanpa adanya konsekuensi.
Sebagai contoh, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 116 kasus kekerasan oleh kepolisian sepanjang Januari-November 2024, termasuk diantaranya adalah pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, hingga penangkapan werga sipil secara sewenang-wenang. Mayoritas kasus dibiarkan tanpa proses peradilan yang transparan tanpa pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.
Para terduga pelaku pelanggaran HAM-termasuk para mantan jenderal yang diduga sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan melenggang bebas tanpa adanya penghukuman, sementara korban dan keluarganya dibiarkan tanpa kepastian hukum dan kebenaran sangat ironis, memang, mengingat Indonesia saat ini tengah menjadi anggota Dewan HAM PBB 2024-2026.
Hak asasi manusia seakan hanya menjadi catatan di atas kertas dan amunisi bagi Pemerintah Indonesia untuk berdiplomasi, tanpa menjadi prioritas untuk ditegakkan di dalam negeri.
Setiap pelanggaran HAM yang terjadi harus dituntaskan secara hukum dan bukan hanya menjadi formalitas belaka. Perlu dingat bahwa 18 tahun bukanlah waktu yang singkat, namun korban dan keluarga korban tetap berdiri memperjuangkan apa yang sudah seharusnya menjadi hak bersama untuk dipenuhi Negara.
Berlanjutnya Aksi Kamisan merupakan bukti bahwa negara sama sekali belum memenuhi kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan kasus-kasus pelanggaran berat HAM melalui proses hukum yang efektif, independen, menyeluruh, dan berorientasi pada kepentingan korban.
Aksi Kamisan akan terus berdiri hingga korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM dipenuhi hak-haknya secara menyeluruh termasuk hak atas keadilan, kebenaran, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan peristiwa.
Dengan genap berusia 18 tahun, Aksi Kamisan baru-baru ini menyerukan tiga hal. Pertama, Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM dan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mendet Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilen HAM.
Kedua, pihak Polri memastikan akuntabilitas atas kasus-kasus dugaan kekerasan oleh aparat kepolisian dengan mengusut dan menindak semua pelaku sesuai mekanisme hukum yang berlaku
Ketiga, penyelidikan pro-justitia Komnas HAM atas kasus-kasus dugaan peristiwa pelanggaran berat HAM, termasuk kasus pembunuhan pembela HAM Munir Said Thalib, harus berjalan secara independen dan tidak boleh dintervensi oleh pihak manapun. (AM)
Discussion about this post