Daily News | Jakarta – Siapa yang tidak merasa sedih melihat nasib kaum marginal yang rumahnya dibuldozer oleh aparat? Para petugas yang tak berperasaan bak mesin itu merobohkan rumah-rumah warga. Diiringi teriakan yang mengerikan, kesedihan, dan linangan air mata ibu-ibu, perempuan, dan anak-anak, para petugas bekerja tanpa menunjukkan emosi apa pun. Sementara itu, para lelaki yang menyaksikan rumah-rumah mereka dirusak hanya terdiam, tak berdaya untuk melawan.
Bunda Merry SAg, perempuan paruh baya, bereaksi keras. Ia berteriak memprotes, tetapi perlawanannya bagai melawan tembok melawan kekuasaan yang dangkal, arogan, dan tak berperasaan. “Saya berteriak menentang. Tetapi saya tidak berdaya. Hanya itu yang bisa saya lakukan, menyaksikan buldozer merobohkan rumah-rumah warga satu demi satu,” kata perempuan berjilbab itu kepada KBA News, Selasa, 14 Januari 2025.
Video perlawanannya yang menuai simpati itu diunggah di YouTube pada Senin. Sayangnya, aksi heroiknya itu belum menjadi viral. Hingga pagi harinya, 17 jam setelah video diunggah, video tersebut baru ditonton 300 orang, disukai 30 orang, dan dikomentari lima orang. Pembelaan terhadap warga terlantar tampaknya kurang mendapat perhatian.
Video berdurasi tiga menit itu direkam di Desa Natar, Lampung Selatan, tak jauh dari ibu kota Provinsi Lampung, Bandar Lampung. Peristiwa itu terjadi pada Senin lalu, saat PTPN-I, perusahaan perkebunan milik negara, sedang membongkar rumah warga. Bunda Merry pun bereaksi membela 160 keluarga terdampak. Dengan suara lantang dan gerakan cepat, ia bertindak, tetapi polisi wanita sigap menenangkannya.
Di usianya yang menginjak 51 tahun, Bunda Merry bukanlah salah satu warga yang terkena dampak penggusuran. Ia merupakan warga Kotabumi, Lampung Utara, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari lokasi kejadian. Ia hadir karena rasa simpati dan solidaritasnya terhadap masyarakat yang tertindas. “Saya tidak terima kalau masyarakat dizalimi, pemerintah hanya diam saja,” kata Ketua Badan Penghubung Majelis Taklim (BKMT) Kabupaten Lampung Utara ini.
Konflik Warga dan PTPN
Penggusuran di Natar bermula saat lahan yang ditempati warga awalnya milik PTPN-I. Warga yang tidak memiliki lahan pun berangsur-angsur menetap di sana sejak bertahun-tahun lalu. Awalnya, PTPN mengizinkan, namun seiring berjalannya waktu, seiring dengan bertambahnya empat desa di Natar, warga pun semakin banyak yang datang untuk membangun rumah.
Beberapa tahun lalu, PTPN menggugat kepemilikan lahan yang ditempati warga. Di semua tingkat pengadilan, warga kalah. Posisi hukum mereka pun lemah karena hanya memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa secara sporadis. Sementara itu, PTPN memiliki dokumen dan bukti kepemilikan historis yang lengkap. Alhasil, perusahaan milik negara itu selalu menang dalam kasus tersebut, bahkan di Mahkamah Agung.
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), PTPN mengambil kembali tanah tersebut, yang berujung pada penggusuran di Natar. Menurut Bunda Merry, putusan Mahkamah Agung merujuk ke desa lain, yakni Sidosari, sedangkan Natar juga terkena dampak, yang menurutnya tidak tepat secara hukum. “Itu tidak dapat diterima secara hukum, karena lokasinya salah,” kata peraih gelar Sarjana Agama Islam dari IAIN Raden Inten Bandar Lampung ini.
Masyarakat sendiri memahami bahwa tanah itu bukan milik mereka. Yang mereka tuntut adalah solusi untuk kelangsungan hidup mereka setelah terusir dari rumah yang telah susah payah mereka bangun selama bertahun-tahun. Namun, PTPN bersikap masa bodoh, mengambil kembali tanah tersebut tanpa memberikan solusi apa pun bagi warga yang tergusur. Mereka tidak mendapat ganti rugi karena PTPN menganggap pendudukan mereka atas tanah tersebut melanggar hukum.
“Pemerintah tidak hadir untuk menangani situasi warga miskin dan menderita ini. Mereka hanya diam saja. Polisi dan aparat keamanan hanya hadir untuk memastikan proses penggusuran berjalan lancar dan aman. Negara tidak hadir saat rakyat butuh perhatian dan penanganan segera. Ratusan perempuan dan anak menderita akibat penggusuran yang tidak adil ini. Negara gagal memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya sendiri,” pungkas Bunda Merry. (AM)
Discussion about this post