Daily News | Jakarta – Sejarawan Amerika Serikat (AS), Benedict Anderson (1936-2015) menyebut, bangsa sebagai komunitas imajiner, yang dimana meskipun warganya tidak saling kenal, mereka merasa memiliki kesamaan identitas.
Jiwa nasionalisme masyarakat berkobar alias naik saat menonton Timnas Indonesia. Cinta pada Tanah Air seakan meletup-letup ketika mata menyaksikan Tim Garuda merumput dan melawan “musuh” di lapangan hijau.
Mengapa hal demikian terjadi? Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Syaifudin mengatakan, jiwa nasionalisme tersebut tumbuh saat menonton Timnas Indonesia, bukan hanya tentang olahraga, melainkan hasil dari interaksi simbolik, identitas kolektif, narasi media, dan kebutuhan manusia akan kebersamaan.
“Dalam momen itu, perbedaan-perbedaan sosial larut, dan muncul semangat ‘kita adalah satu bangsa’. Tim nasional sepakbola dianggap sebagai representasi simbolik negara,” katanya saat diwawancara KBA News, Sabtu, 26 April 2025.
Ia menjelaskan, dalam ilmu sosiologi itu disebut sebagai bentuk representasi kolektif, yaitu simbol-simbol yang membawa makna bersama dalam masyarakat. Saat tim nasional bertanding, masyarakat memproyeksikan identitas nasional mereka ke dalam tim tersebut. Seragam, bendera, dan lagu kebangsaan menjadi sarana simbolis yang memperkuat solidaritas kolektif.
Ia nambahkan, dalam konteks identitas sosial, manusia cenderung mengkategorikan diri ke dalam kelompok atau in-group dan membedakan diri dari kelompok lain atau out-group.
“Dalam konteks tim nasional, In-group adalah negara sendiri, tim nasional, sesama suporter. Sedangkan Out-group adalah lawan tanding (negara lain). Konflik simbolik antara dua negara dalam bentuk pertandingan menciptakan rasa persatuan dan loyalitas terhadap kelompok sendiri, sehingga memicu nasionalisme spontan,” jelasnya.
Kesamaan Identitas
Sejarawan Amerika Serikat (AS), Benedict Anderson (1936-2015) menyebut, bangsa sebagai komunitas imajiner, yang dimana meskipun warganya tidak saling kenal, mereka merasa memiliki kesamaan identitas.
Sepakbola, kata Syaifudin, sebagai tontonan massal, memperkuat rasa memiliki itu. Dimana disaksikan secara bersamaan dan memunculkan rasa ‘kita’ yang kuat, bahkan sampai menyulut emosi kolektif berupa bangga saat menang, sedih saat kalah.
Selain itu juga, lanjut dia, pertandingan sepakbola menjadi ajang katarsis, yakni pelampiasan emosi bersama. Dalam masyarakat yang sehari-hari mengalami perbedaan seperti politik, ekonomi, agama, sepakbola menyatukan mereka dalam satu ruang emosi.
“Rasa cinta tanah air yang mungkin tersembunyi atau tertekan dalam keseharian, muncul kuat ketika bangsa diwakili dalam kompetisi global. Jadi munculnya rasa nasionalisme saat menonton pertandingan sepakbola tim nasional, menunjukkan masyarakat mencintai bangsa dengan sepenuh hati,” ujarnya. (EJP)