JAKARTA | KBA – Kuliah Umum Anies Rasyid Baswedan di Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bandung, bertema “Pendidikan Berkarakter: Memperkuat Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Peradaban Bangsa di Era Society 6.0” terus memantik respon dari berbagai kalangan. Tentang pembahasan yang menekankan pentingnya sense of legacy dalam membangun peradaban melalui dunia pendidikan.
Dikutip oleh KBA News dari Youtube Universitas Islam Bandung berjudul Kuliah Umum Bersama Anies pada Rabu 18 Juni 2025, pendidikan tinggi tidak boleh hanya membentuk lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga individu yang sadar akan warisan sosial dan moral yang ditinggalkannya untuk generasi berikutnya.
“Perguruan tinggi harus menghasilkan lulusan yang tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap mewariskan nilai. Karena peradaban tidak dibangun dalam satu generasi, tetapi diwariskan dengan kesadaran akan legacy,” ujar Anies.
Pernyataan Anies tersebut mendapat apresiasi dari Wakhid Fajar Purnomo, seorang konsultan packaging designer asal Jakarta sekaligus lulusan Fakultas MIPA, Departemen Kimia Universitas Indonesia angkatan 2008.
Dalam wawancaranya bersama KBA News pada Jumat, 20 Juni 2025, Wakhid menyampaikan bahwa sense of legacy yang diangkat Anies adalah prinsip yang sangat penting bagi siapapun yang ingin menciptakan perubahan berdampak jangka panjang.
“Pak Anies mengajarkan kita bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang popularitas sesaat, tetapi tentang meninggalkan jejak yang membangun. Dalam dunia kerja dan desain sekalipun, saya merasakan betul pentingnya berpikir jangka panjang, membuat desain yang fungsional sekaligus berdampak bagi lingkungan dan masyarakat,” kata Wakhid.
Menurut Wakhid, hal tersebut merupakan pernyataan yang sangat relevan, terutama dalam konteks dunia industri kreatif di mana inovasi seringkali diburu-buru tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
“Sebagai konsultan desain, saya sering menyampaikan kepada klien bahwa desain yang hebat bukan hanya yang menarik mata, tapi yang punya makna, nilai keberlanjutan, dan bisa bertahan menghadapi zaman. Pak Anies berbicara hal serupa dalam konteks kepemimpinan dan pendidikan,” jelas Wakhid.
Ia juga mengungkapkan bahwa pernyataan Anies mengingatkannya pada konsep design with purpose, yang menurutnya sejajar dengan leadership with legacy.
“Banyak pemimpin hari ini berpikir jangka pendek. Tapi Pak Anies membawa perspektif yang sangat mendalam bahwa setiap keputusan harus memikirkan dampaknya pada 10, 20 bahkan 50 tahun ke depan. Itu baru pemimpin visioner,” tegasnya.
“Kalau bangsa ini ingin naik kelas dalam pembangunan peradaban, maka nilai-nilai seperti legacy ini harus jadi bagian dari kurikulum kehidupan, bukan hanya mata kuliah,” pungkasnya.
Setuju
Anies Rasyid Baswedan saat memberikan kuliah umum di Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bandung, menekankan pentingnya sense of legacy dalam membangun peradaban melalui dunia pendidikan. Diskusi bertema “Pendidikan Berkarakter: Memperkuat Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Peradaban Bangsa di Era Society 6.0” terus memantik respon dari berbagai kalangan.
Tokoh Pendidikan Yogyakarta Khamim Zarkasih Putro sependapat dengan pernyataan Anies. Menurutnya, perguruan tinggi dituntut melahirkan output yang memiliki kesadaran legacy. “Kesadaran legacy itu penting,” katanya saat dihubungi KBA News, Jumat, 20 Juni 2025.
Khamim menjelaskan, kesadaran legacy adalah kesadaran tentang dampak dan pengaruh yang akan ditinggalkan oleh seseorang setelah mereka tidak lagi aktif dalam suatu bidang atau organisasi. Ini mencakup pemikiran tentang bagaimana tindakan dan keputusan saat ini dapat mempengaruhi masa depan dan meninggalkan warisan yang positif.
Pengamat politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengatakan, aspek kesadaran legacy meliputi tiga hal; yakni dampak jangka panjang, pengaruh pada orang lain, serta warisan yang positif.
Dia merinci dampak jangka panjang ini merupakan kesadaran legacy mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakan dan keputusan saat ini. Pengaruh pada orang lain yakni kesadaran legacy juga mempertimbangkan bagaimana tindakan dan keputusan saat ini dapat mempengaruhi orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Sedangkan warisan yang positif merupakan kesadaran legacy bertujuan meninggalkan warisan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat atau organisasi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Khamim mengungkapkan bahwa kesadaran legacy membawa sejumlah manfaat penting bagi individu. Pertama, kesadaran ini dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang positif dan berdampak baik. Dengan memahami bahwa setiap langkah yang diambil dapat meninggalkan jejak di masa depan, seseorang akan lebih terdorong untuk berbuat kebaikan.
Kedua, kesadaran legacy juga menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar. Seseorang akan lebih berhati-hati dalam membuat keputusan karena menyadari adanya konsekuensi dari setiap tindakan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Ketiga, kesadaran ini turut berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup. Ketika seseorang memprioritaskan keputusan yang membawa manfaat jangka panjang, hidupnya pun akan lebih terarah, bermakna, dan berorientasi pada kontribusi positif bagi lingkungan sekitar.
“Dengan memiliki kesadaran legacy, seseorang dapat lebih bijak dalam membuat keputusan dan tindakan, serta dapat meninggalkan warisan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat atau organisasi,” jelasnya.
Resep Indonesia Emas
Anies Baswedan menekankan pentingnya sense of legacy dalam membangun peradaban melalui dunia pendidikan. Maka, kata dia, pendidikan tinggi tidak boleh hanya membentuk lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga individu yang sadar akan warisan sosial dan moral yang ditinggalkannya untuk generasi berikutnya.
Hal tersebut disampaikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut di acara Kuliah Umum di Universitas Islam Bandung pada Rabu 18 Juni 2025. Banyak pihak yang merespon positif tentang pemikiran Anies tersebut. Salah satunya yakni tokoh Aceh Utara, T.S Sani.
“Saya setuju dan mendukung gagasan yang disampaikan oleh Anies bahwa sense of legacy merupakan esensi kepemimpin masa depan,” katanya kepada KBA News, Sabtu, 21 Juni 2025.
Mengapa setuju? Kata dia, karena selama sepuluh tahun belakangan ini, banyak pejabat, politisi dan pemimpin partai dan ormas tidak lagi menjadikan etika, moral dan integritas sebagai budaya yang dapat dijadikan warisan bagi generasi masa depan.
Menurutnya, kecerdasan yang dimiliki oleh mereka bukan untuk menguatkan keutuhan bangsa dan kesejahteraan bersama, tetapi lebih kepada mencari pembenaran atas kebijakan dan tujuan yang salah yang dilakukannya.
“Digunakanlah buzzer-buzzer bayaran untuk membentuk opini publik yang sesat, sehingga yang salah kemudian menjadi benar. Publik diarahkan kepada pemahaman yang keliru sehingga fakta tidak perlu lagi menjadi ukuran kebenaran,” jelasnya.
Dari sinilah, kata dia, viral istilah sesat logika atau pengiringan opini. Kondisi seperti ini tentu harus segera diakhiri dan jika sense of legacy tidak dilakukan maka yang diwarisi kepada generasi masa depan adalah kultur yang tidak sehat yang menjadi preseden buruk bagi mereka dikemudian hari.
“Apalagi masyarakat kita masih terkooptasi dengan budaya paternalistik yaitu budaya mencontoh apa yang pernah dilakukan pendahulunya dimasa lalu, walaupun itu salah dan sesat,” katanya.
Sebagai Solusi
T.S Sani menambahkan, konsep sense of legacy yang ditawarkan Anies, merupakan satu solusi untuk keluar dari carut marut kultur yang sudah salah kaprah sehingga menyebabkan bangsa dan negara ini tidak siap terbang landas dan masih tertinggal di landasan terus, dibandingkan dengan bangsa dan negara lain.
Ia menjelaskan, untuk mewujudkan visi dan misi “Indonesia Emas” butuh tahapan-tahapan yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Juga perlu ada konsep yang terarah dan terukur dengan pelibatan berbagai komponen pendukungnya, dimana komponen-komponen penentunya harus integral antara satu dengan lainnya.
Menurutnya, salah satunya faktor penentunya adalah pemimpin. Bila Pemimpin hari ini tidak memiliki sense of legacy, tidak akan mungkin generasi penerus estafet bangsa dan negara ini mampu mewujudkan perubahan bagi kehidupan rakyat dan negara menjadi lebih baik lagi.
“Bila pemimpin, pejabat dan politisi saat ini tidak memberi ruang untuk tumbuh dan berkembangnya sense of legacy, masih layakkah kita berharap di tahun 2045 akan terwujud Indonesia Emas? Jangan-jangan justru yang terwujud malah Indonesia cemas,” ujarnya. (DJP)