Daily News | Jakarta – Logikanya, tanpa dominasi partai tertentu, akan ada lebih banyak kandidat yang bisa bersaing secara sehat.
Maka, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen menjadi sorotan publik. Keputusan ini dianggap membuka babak baru dalam politik Indonesia, dengan berbagai peluang sekaligus tantangan yang menyertainya.
Pengamat politik Dr. Martadani Noor, MA, menilai bahwa dari perspektif demokrasi, putusan ini memiliki sisi positif. “Pada dasarnya, secara normatif, semua orang berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai presiden. Ini sejalan dengan prinsip kerakyatan,” ujarnya saat diwawancarai KBA News, Sabtu, 4 Januari 2025.
Menurutnya, keputusan ini dapat mendorong kompetisi politik yang lebih fair dengan menghilangkan dominasi partai besar atau kartel partai. Harapannya, praktik jual beli suara yang selama ini menjadi momok dalam politik Indonesia juga bisa diminimalisir. “Logikanya, tanpa dominasi partai tertentu, akan ada lebih banyak kandidat yang bisa bersaing secara sehat,” imbuhnya.
Namun, Martadani mengingatkan bahwa putusan ini tidak sepenuhnya bebas dari potensi masalah. Dengan 20 partai yang berhak mengajukan calon, proses seleksi menjadi lebih longgar. Kondisi ini justru membuka peluang terjadinya transaksi politik.
Jika calon presiden yang terpilih berasal dari partai kecil dengan dukungan minim di parlemen, hubungan antara eksekutif dan legislatif dapat menjadi masalah serius. “Presiden dari partai kecil mungkin akan kesulitan menjalankan program-programnya karena minimnya dukungan di DPR. Bahkan, potensi impeachment bisa saja meningkat,” jelasnya.
Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta ini menyatakan, bagaimanapun, seorang presiden tetap membutuhkan dukungan parlemen. Tanpa dukungan tersebut, banyak program pemerintahan yang berisiko gagal. Oleh karena itu, kekuatan parlemen tetap menjadi faktor kunci bagi presiden terpilih.
Di sisi lain, keputusan ini memerlukan tindak lanjut yang konkret dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), termasuk konsultasi dengan parlemen. Namun, langkah ini menimbulkan kekhawatiran dari kalangan pro-demokrasi. Ada risiko bahwa petunjuk pelaksanaan (juklak) pemilu akan diakali oleh oligarki atau partai besar untuk tetap mempertahankan pengaruh mereka.
Namun, meski dianggap membuka peluang baru bagi demokrasi, putusan ini justru bisa menjadi angin segar bagi oligarki. Dari sisi biaya politik, keputusan ini dapat mempermudah langkah mereka. “Sekarang cukup ‘membeli’ satu partai untuk mengusung calon yang diinginkan. Sebelumnya, dengan ambang batas 20 persen, oligarki harus merangkul beberapa partai, yang tentu membutuhkan biaya lebih besar,” ungkap Martadani.
Ia mencontohkan, jika sebelumnya lima partai membutuhkan biaya sekitar Rp500 miliar, sekarang cukup dengan Rp100 miliar untuk satu partai saja. Dengan demikian, oligarki tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk mendukung kandidat tertentu. “Bagi saya, oligarki tetap ‘hepi-hepi saja’. Keputusan ini memangkas tekanan (ambang batas 20 persen) yang mereka hadapi selama ini,” tambahnya. (EJP)
Discussion about this post