Daily News | Jakarta – Gelombang protes mahasiswa terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran terus berlanjut di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta pada Selasa, 11 Maret 2025. Aliansi Jogja Memanggil mengusung tema Indonesia Gelap Jilid II sebagai simbol perlawanan terhadap isu korupsi dan kebijakan yang dinilai memperburuk kondisi bangsa.
Aktivis prodemokrasi Eko Dananjaya, S.H., menilai gerakan mahasiswa ini sebagai ekspresi kaum muda yang merasa masa depan Indonesia semakin tidak jelas. “Mahasiswa dan mayoritas publik mengalami kecemasan melihat kondisi Indonesia saat ini,” ujarnya saat dihubungi KBA News, Kamis, 13 Maret 2025.
Harapan besar masyarakat dan mahasiswa kepada Prabowo ternyata berujung kekecewaan. Setidaknya ada dua pernyataan Prabowo yang dinilai melukai hati publik. Pertama, dukungannya yang terang-terangan terhadap Jokowi dan keluarganya di tengah tuntutan mahasiswa akan keadilan hukum atas kepemimpinan Jokowi selama satu dekade terakhir.
Kedua, kata Eko, respons emosional Prabowo terhadap kritik dengan kata “Ndasmu” yang dianggap tidak pantas diucapkan oleh seorang kepala negara.
Dia menilai jargon politik Prabowo hanya sekadar retorika tanpa realisasi nyata. “Mahasiswa dan masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum serta pemberantasan korupsi,” katanya.
Kritik Danantara
Direktur Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Yogyakarta, Eko Dananjaya, menilai di bidang ekonomi, kebijakan pemerintah juga menuai skeptisisme. Salah satu kebijakan yang dipersoalkan adalah pembentukan Danantara, holding yang menyatukan aset BUMN dalam satu wadah.
Banyak pakar ekonomi, termasuk Prof. Ferry Latuhihin, mengkhawatirkan kebijakan ini dapat memicu rush money yang berpotensi melemahkan stabilitas ekonomi nasional.”Dalam implementasi program, Danantara diharapkan menjadi instrumen pemulihan ekonomi. Namun, ada kekhawatiran besar bahwa kebijakan ini justru bisa membawa dampak negatif,” ungkap Eko.
Selain itu, kritik juga diarahkan kepada pemerintah karena menunjuk Tony Blair sebagai penasihat ekonomi Danantara. “Bukankah pakar ekonomi dalam negeri juga memiliki kapasitas yang tidak kalah hebat? Ini menunjukkan adanya colonial mentality dalam pengambilan kebijakan ekonomi,” tambahnya.
Menurut dia, mahasiswa melihat Indonesia dalam kondisi ‘gelap’ akibat semakin kuatnya oligarki yang mengatur pemerintahan serta berlanjutnya politik dinasti. Hal ini membuat anak muda berbakat kalah dengan sistem koneksi dibandingkan kapabilitas. “Buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau sistem dinasti masih mendominasi? Banyak generasi muda akhirnya memilih bekerja di luar negeri demi masa depan yang lebih baik,” kata Eko.
Selain itu, munculnya indikasi kembalinya dwi fungsi TNI juga menjadi sorotan, di mana ada beberapa kebijakan yang memungkinkan TNI menempati jabatan sipil di berbagai instansi. “Ini mengarah pada semakin kuatnya peran militer dalam pemerintahan sipil,” tegasnya.
Aksi protes mahasiswa di Yogyakarta ini menjadi bukti bahwa demokrasi masih hidup dan kaum muda tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan serta ancaman terhadap masa depan bangsa. (EJP)
Discussion about this post