Daily News | Jakarta – Rezim Jokowi meninggalkan bom waktu. Jika tidak hati-hati berimplikasi ke mana-mana. Termasuk menggerus legitimasi kekuasaan Presiden Prabowo Subianto.
Salah satu kebijakan yang sempat membuat gaduh adalah rencana pemerintah menaikkan PPN atau pajak pertambahan nilai dari 11 persen menjadi 12 persen.
“Namun lebih dari itu, kondisi keuangan negara, dengan program-program yang “kurang penting” lah yang membuat terkontraksinya APBN,” kata Assoc. Prof. Dr. Muhammad Fajar Pramono, M.Si, akademisi asal Kota Reog Ponorogo, Jawa Timur, Kamis, 2 Januari 2025.
Menurut dia, program pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan yang terbaru makan siang bergizi semakin menambah beban. “Pasti akan defisit,” kata Fajar yang juga alumni S2 Unair Surabaya dan S3 UGM Yogyakarta ini.
Solusinya, lanjut Fajar, hutang atau menggali potensi yang ada dan memperluas basis pajak. “Baik dengan memperbanyak jumlah wajib pajak maupun memperbaiki regulasi yang sudah ada atau membuat regulasi baru.”
Bersyukur akhirnya pemerintahan Prabowo hanya mengenakan pajak 12 persen berlaku hanya untuk barang mewah.
Di sisi lain, bila dibandingkan dengan program pajak ala Anies Baswedan saat menjabat Gubernur Jakarta periode 2017-2022 tentu berseberangan.
Saat itu, Anies menerbitkan Pergub Nomor 23 Tahun 2022. Yang intinya bahwa semua hunian di Jakarta dengan luas 36 meter persegi pertama bebas PBB. Semua tanah dengan luas 60 meter persegi pertama juga bebas PBB.
Anies menetapkan bebas pajak ini merujuk pada prinsip keadilan dan prinsip kesetaraan.
“Kebijakan ini di Jakarta adalah keputusan yang dibuat untuk menegaskan bahwa hunian adalah hak asasi manusia. Hak asasi itu harus dihormati, dan pemerintah harus membuat ketentuan untuk menghormati hak asasi tersebut,” terang Anies. (EJP)
Discussion about this post