Daily News | Jakarta – Kritikus Politik Faizal Assegaf mengatakan, dalam sistem pemerintahan, tidak boleh ada yang mendominasi, baik dominasi sipil maupun militer. Dominasi sipil, TNI, ataupun Polri hanya akan menimbulkan banyak peselisihan dalam sistem bernegara.
Menurutnya, dominasi sipil belum tentu bagus untuk sistem pemerintah bisa berjalan dengan stabil. Contohnya, kepemimpinan Presiden Megawati maupun Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang keduanya sipil, justru paling banyak membuat kebijakan kontroversial.
“Di era kekuasaan Megawati, sejumlah aset strategis negara diobral ke asing. Konglomerat hitam diberi pengampunan, skandal BLBI ratusan triliun hingga lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia,” ujar Faizal dikutip KBA News dari akun X @faizalassegaf, Senin, 17 Maret 2025.
Sebaliknya, saat Preiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa, dituding hendak menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI. Nyatanya, SBY hanya tersandung kasus korupsi Century dan mangkraknya proyek Hambalang.
Bahkan, sepuluh tahun kekuasaan SBY justru berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dengan melepas beban utang luar negeri dan konsisten membangun kultur politik yang bebas serta demokratis.
“Sistem pemerintahan tidak boleh dibajak oleh hegemoni satu kelompok tertentu. Klaim legitimasi sipil lebih unggul dari militer, tapi faktanya 27 tahun reformasi dikhianati oleh dominasi sipil,” tegas Faizal.
Tak sampai di situ, kepemimpinan sipil Megawati terus berlanjut dengan melahirkan rezim Presiden ke-7 Joko Widodo yang tak kalah rakus dan korupnya.
Hasilnya, kata Faizal, Megawati dan Jokowi sukses menggasak kekayaan negara lewat aksi koruptif yang sangat besar. Korupsi mengganas nyaris di seluruh sektor, mewarisi utang 10 ribu triliun rupiah, BUMN jadi sarang maling, kekayaan alam digarong, hingga UU dan konstitusi diobrak-abrik secara biadab.
“Megawati dan PDI-P intensif menjalin pemufakatan dengan oligarki. Ujungnya melahirkan rezim Jokowi yang super rakus dan korup. Satu dekade kekuasaan, meninggalkan segala petaka dan kerusakan bernegara secara mengerikan,” paparnya.
Tak berhenti di situ. Jokowi dan Megawati bermain drama politik. Seolah berselisih satu sama lain, namun saling melindungi di balik layar. Saat ini, pelan-pelan jejaring PDI-P dan Jokowi menggiring publik membenci TNI.
Faizal melihat, Megawati dan Jokowi tengah menargetkan Presiden Prabowo Subianto sebagai biang kerok dari rusaknya tatanan negara. Hasilnya, saat ini masyarakat cenderung melihat Prabowo dan TNI sebagai musuh bersama yang hendak menghancurkan demokrasi.
“Pemerintahan Prabowo dan TNI ditargetkan sebagai musuh kelompok sipil. Mereka lupa, kekuasaan sipil ala Mega dan Jokowi justru memperalat Polri secara bringas dan sadis terhadap rakyat,” tegas Faizal.
Permainan yan dibuat Megawati dan Jokowi sukses menciptakan perselisihan antara masyarakat dengan TNI dan Polri. Hal ini dianggap bisa memicu perselisihan antar bangsa di masa depan.
“Dikotomi sipil – militer harus dihentikan. Tembakan kebencian pada TNI atau Polri bukan solusi. Berpotensi menyulut konflik antar elemen bangsa,” pungkas Faizal. (EJP)
Discussion about this post