Daily News | Jakarta – Reformasi sesungguhnya yang dilakukan pada 1998 bertujuan untuk memperbaiki kehidupan bangsa yang lebih baik, dengan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara sungguh-sungguh. Harapannya agar tidak terulang peristiwa seperti Orde Baru yang seolah-olah dianggap sebagai kekuasaan mutlak dan menyisihkan demokrasi Pancasila.
Tokoh Yogyakarta HM Syukri Fadholi mengatakan, ternyata dalam dinamika reformasi, ditunggangi oleh kelompok liberal, dan ketika euforia reformasi berlebihan, tidak disadari ternyata amandemen UUD 1945 dilakukan sampai empat kali, di mana di dalamnya diboncengi liberalisme dan kapitalisme. “Sehingga, perjalanan demokrasi Pancasila mulai bergeser ke arah demokrasi liberal dan kapitalis,” katanya saat dihubungi KBA News, Jumat, 18 Oktober 2024.
Presidium Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) DIY ini mengungkapkan, kondisi tersebut berujung pada kebijakan negara yang lebih cenderung memberikan kesempatan kepada penguasaan asing. Akibatnya, dominasi asing masuk ke dalam ranah kekuasaan negara, yang pada akhirnya justru mengarahkan kebijakan negara menjadi tidak ideologis, tetapi pragmatis.
“Misalnya, kebijakan sistem pemilu dengan suara terbanyak, yang dari kacamata demokrasi seolah-olah baik, tetapi ketika kondisi kehidupan bangsa dan negara belum stabil, dengan pendapatan per kapita yang belum memenuhi persyaratan, hal ini justru merusak kehidupan bangsa,” jelasnya.
Mantan Ketua DPW PPP DIY ini mengungkapkan, dampak selanjutnya, orang-orang terbaik dalam partai politik yang memiliki integritas dan moral yang baik dikalahkan oleh orang-orang yang memiliki uang. “Kondisi inilah yang terjadi hingga 2024. Artinya, politik yang awalnya bersifat ideologis berubah menjadi pragmatis, yang kemudian dimasuki oleh oligarki dalam negeri maupun asing,” katanya.
Tanda zaman yang seperti itu, misalnya, tampak pada seolah-olah kedaulatan dikuasai oleh partai politik. Contohnya, pencalonan presiden yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, tetapi kemudian diubah sehingga yang mengusulkan adalah partai politik, yang diberikan ambang batas presidential threshold 20 persen. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bangsa ini dikuasai oleh kekuatan oligarki.
Syukri mengungkapkan, saat ini menjadi demokrasi yang dimenangkan oleh orang yang memiliki uang. Siapa yang didukung oleh oligarki akan menjadi pejabat publik atau parlemen. Setidaknya 50 persen anggota DPR adalah orang-orang yang dibiayai oleh cukong asing saat kampanye pemilu.
“Ini menjadi posisi tawar ketika mereka menjadi anggota DPR, di mana mereka harus memperjuangkan undang-undang sesuai kepentingan oligarki tersebut. Akhirnya, tatanan kehidupan bangsa semakin rusak,” kata Syukri.
Itulah kondisi nyata yang terjadi di bangsa ini. “Mengapa politik uang terjadi secara luar biasa? Tren dari pemilu ke pemilu semakin meningkat, dan puncaknya terjadi pada 2024,” ungkapnya. (HMP)