Daily News | Jakarta – Di era pasca-Reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam sistem politik, salah satunya adalah pelaksanaan pemilihan umum secara langsung. Proses demokrasi yang melibatkan partisipasi publik secara luas ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, realitas politik yang terjadi di Indonesia saat ini justru menunjukkan fenomena politik uang yang semakin merajalela. Mulai dari pemilihan presiden (Pilpres), kepala daerah (Pilkada), hingga pemilihan anggota DPR/DPRD dan DPD, serta bahkan pemilihan kepala desa (Pilkades), praktik politik uang terus mencemari proses demokrasi.
Pertanyaan pun muncul: Apakah ini buah simalakama dari Reformasi 1998, yang membuka kran demokrasi secara lebar-lebar namun sekaligus memunculkan celah bagi kekuatan uang untuk mendominasi proses politik?
Assoc. Prof. Dr. Khamim Zarkasih Putro, M.Si, menjelaskan bahwa sistem pemilihan langsung memang merupakan salah satu hasil Reformasi 1998. Ia menjelaskan bahwa ide awal dari pemilihan langsung adalah untuk mengurangi potensi suap atau manipulasi di parlemen. Dengan menyerahkan pilihan kepada jutaan rakyat Indonesia, harapannya, proses ini menjadi lebih demokratis dan tidak bisa dipengaruhi oleh segelintir elite politik. Namun, kenyataannya justru sebaliknya.
“Semua bisa diatur dengan uang. Bahkan dalam pemilihan langsung, kekuasaan uang mampu merusak tatanan demokrasi secara masif,” ujarnya saat dihubungi oleh KBA News, Sabtu, 12 Oktober 2024.
Dosen Pasca Sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengungkapkan, praktik politik uang tidak hanya mencederai proses demokrasi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemimpin yang terpilih.
Ketika politik uang mendominasi, maka yang terpilih bukanlah pemimpin terbaik, melainkan yang memiliki modal finansial paling besar. Hal ini berpotensi melahirkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada mereka yang memiliki kekuatan finansial di belakang layar.
Khamim menegaskan bahwa salah satu kunci untuk memperbaiki kondisi ini adalah melalui pendidikan politik, baik bagi pemimpin maupun pemilih. Menurutnya, pemimpin harus memiliki fatsun politik, atau moralitas politik, yang kuat. Selain itu, pemilih juga perlu diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya memilih berdasarkan kualitas pemimpin, bukan karena uang.
“Pemilih di Indonesia masih sangat mudah dipengaruhi, karena kurangnya pencerahan politik. Oleh karena itu, pendidikan politik yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat sangatlah penting,” jelasnya.
Khamim juga menyarankan agar ada evaluasi terhadap sistem pemilihan di Indonesia. Perlu ada kombinasi untuk pemilihan eksekutif, mana yang perlu dipilih melalui parlemen, mana yang dipilih langsung oleh rakyat. Ada wacana untuk pemilihan presiden tetap langsung, dan itu bagus. Tapi, jika untuk kepala daerah seperti wali kota, bupati, dan gubernur, lebih baik melalui keterwakilan.
Atau sebaliknya, presiden dipilih melalui keterwakilan, sementara kepala daerah dipilih secara langsung karena pertanggungjawabannya langsung kepada masyarakat. “Di tingkat daerah, hubungan antara pemimpin dan masyarakat lebih dekat, sehingga mungkin ini adalah solusi untuk meminimalisir dominasi uang yang semakin merajalela,” ujar Khamim.
Dia berpendapat melalui pendidikan politik yang intensif dan reformasi sistem pemilihan, diharapkan Indonesia dapat melahirkan pemimpin yang tidak hanya memiliki modal finansial, tetapi juga moralitas dan kapasitas untuk membawa perubahan positif bagi bangsa. (AM)