Daily News | Jakarta – Fakta bahwa semua kekuatan politik terkooptasi oleh rezim ke dalam kekuasaannya bukan merupakan bergita gembira untuk demokrasi.
Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta (UTMJ), Prof Dr Suradika mengatakan rakyat saat ini memang tampak acuh sekali pada persoalan politik. Mereka tak percaya apa pun yang akan terjadi dalam perubahan peta politik akan mampu membuat perbaikan bagi kehidupannya.
‘’Ini tampak sekali ketika rakyat yang saya temui acuh saja pada pelantikan anggota parlemen yang baru. Mereka bersikap hambar, pesimis, dan tak peduli. Dan ini saya melihat politik Indonesia belakangan semakin susah dibaca. Yang terlihat oleh rakyat harapannya kepada pihak eksekutif dan legislatif semakin jauh saja,’’ kata Suradika kepada KBA News, Rabu petang, 2 Oktober 2024.
Yang paling menyedihkan, lanjut Suradika, rakyat juga semakin tidak mengerti ketika para elite negara ini tidak bersikap atas munculnya aksi kekerasan ketika melakukan diskusi. Padahal ini sangat mengoyak kehidupan demokrasi yang seharusnya mereka jaga.
‘’Tapi lihatlah apakah elite di parlemen yang baru ini ada yang bersikap. Saya kok sampai kini belum mendenar statemen mereka mengecam munculnya aksi kekerasan terhadap pelaksanaan demokrasi Indonesia. Ini kan sangat aneh. Ada apa dengan elite politik kita sekarang ini. Padahal sendi demokrasi sudah terancam runtuk akibat aksi ini, Namun kritik mereka tak terdengar. Tindakan kekerasan dan represif seolah mereka benarkan,’’ ujarnya.
Pada saat ini, ungkap Suradika, perilaku sebagian besar rakyat semakin pragmatis saja. Mereka pun paham bila hanya mengeluh dan mengharap bantuan dari para elite politik susah terwujud.’’Contoh yang paling sederhana adalah bagaimana saat in rakyat kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi. Kenyamanan dalam bertransportasi oleh rakyat memang sudah tak bisa diharapkan. Lagi-lagi elite politik pun saat ini tak ada suaranya.’’
‘’Hal lain yang juga konkrit adalah biaya pendidikan yang mahal. Akibatnya rakyat banyak mengeluhkan tidak bisa mengaksesnya. Pendidikan hanya untuk orang kaya. Bahkan perguruan tinggi negeri misalnya hanya untuk melayani kalangan rakyat yang berduit. Sedangkan perguruan tinggi swasta setengah mati dalam mempertahankan diri agar tetap hidup,’’ tegas Suradika.
Adanya dua contoh sederhana itulah yang kini tak mendapat jawaban konkrit dari elite. Maka jangan salahkan rakyat semakin pragmatis dan tak hirau bila ada perubahan komposisi elite politik, misalnya pergantian komposisi keanggotaan parlemen.’’Sekali lagi rakyat terlihat tak peduli siapa saja dan apa yang akan dilakukan oleh anggota parlemen kita, baik di pusat maupun di daerah. Seharusnya para elite menyadari keadaan yang tidak baik ini.”
Menyinggung mengenai nasib oposisi pada pemerintahan mendatang, Suradika mengatakan memang mengkhawatirkan. Hal ini karena saat ini tanda-tanda bahwa semua kekuatan politik akan terserap dalam kekuasaan semakin kuat saja. Semua pihak enggan menjadi pihak yang menjalankan fungsi penyeimbang bagi kekuasaan.
‘’Namun saya yakin, kalau elite politik tidak ada yang menjalankan fungsi ‘cheks and balances’, maka rakyat nanti yang akan mengambil alih sendiri peran itu. Nanti kekuatan organsasi masa (ormas) yang akan menggantikannya.’’Nah, di sini kalau Anies jeli melihat kekosongan peran ‘penyimbang’ kekuasaan, maka dia bersama pendukungnya bisa melakulannya. Sekarang berpulang kepada dia berani tidak melakukan peran tersebut. Kita akan lihat dan tunggu saja,’’ tandas Prof Suradika. (EJP)