Daily News | Jakarta – Karya seni Yos itu bukan penghinaan, melainkan kritik. Kritik adalah bentuk perhatian dan kasih sayang untuk mendorong perbaikan di masa depan. #kbanews
Kontroversi pembredelan lima lukisan karya Yos Suprapto dalam pameran tunggalnya terus menjadi sorotan. Pameran yang dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo tersebut batal digelar setelah menurunkan lima lukisan yang diduga memuat kritik terhadap seorang tokoh penting di Indonesia, yang secara tidak langsung merujuk pada Jokowi.
Budayawan Yogyakarta, Aguk Irawan, menilai pembredelan ini merupakan langkah yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi. Menurutnya, seni adalah ruang untuk dialog yang tidak boleh dibatasi oleh tafsir tunggal.
“Seni yang bagus itu multitafsir. Pemerintah tidak boleh memonopoli tafsir atas karya seni. Tafsir itu sifatnya personal, dan seni adalah refleksi suara hati seniman,” ujar Aguk saat dihubungi KBA News pada Selasa, 24 Desember 2024.
Aguk menegaskan bahwa pembredelan karya seni mengingatkan kita pada era Orde Baru yang membatasi kebebasan berekspresi. “Alangkah baiknya jika seni dibiarkan berdialog dengan penikmatnya. Kalau karya seni itu tidak menarik, masyarakat akan mengabaikannya. Tapi jika dibredel, justru akan menjadi pusat perhatian dan semakin viral,” jelasnya.
Dosen seni Sekolah Tinggi Pariwisata (Stipram) Yogyakarta ini mengungkapkan, seni adalah medium kritik yang harus diterima sebagai bagian dari perkembangan demokrasi. Ia menyayangkan respons pemerintah yang dinilai terlalu berlebihan. “Karya seni Yos itu bukan penghinaan, melainkan kritik. Kritik adalah bentuk perhatian dan kasih sayang untuk mendorong perbaikan di masa depan,” ungkapnya.
Dia mengatakan, karya Yos Suprapto, beraliran figuratif impresif atau impresionisme. “Apakah benar ditujukan untuk seseorang, misalnya si A atau si B? Itu bukan naturalisme realisme seperti foto. Impresionisme adalah salah satu jenis seni rupa modern. Jika berupa realisme natural, mungkin itu masalah serius. Namun, ini adalah figuratif impresif atau impresionisme sehingga tidak bisa dianggap penghinaan,” papar Aguk.
“Karya itu bukan seperti foto, tetapi figuratif impresif dengan beberapa petunjuk (clue). Jadi, orang harus bisa membedakannya,” imbuhnya.
Penulis novel Balada Cinta dan Asa ini mengatakan, langkah pemerintah untuk membredel karya ini justru membuatnya menjadi viral. Prinsip seni adalah mengungkapkan sambil menyembunyikan. Ada yang diungkapkan, tetapi juga ada yang disembunyikan. Tidak semuanya ditampilkan secara eksplisit, jadi masih dalam batas wajar.
Aguk Irawan tidak kaget sejak peristiwa itu membuat beberapa tokoh dan budayawan memberikan dukungan kepada Yos Suprapto atas karyanya tersebut. Seperti Anies Baswedan yang menyatakan, “Apa pun karya seni, jika dibungkam, akan menemukan jalannya sendiri.”
Dia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa seni adalah ruang untuk dialog dan refleksi. “Ketika seni dibungkam, ia akan mencari jalannya sendiri. Sebaliknya, jika diberi ruang, seni akan menjadi bagian dari percakapan yang memperkaya budaya kita,” pungkasnya. (EJP)