Daily News | Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen menjadi sorotan publik. Keputusan ini membuka peluang besar bagi tokoh potensial untuk diusung sebagai calon presiden, termasuk Anies Baswedan.
Konsultan Hukum Surahman Suryatmaja menilai putusan MK ini layak diapresiasi karena menunjukkan keberanian luar biasa. Menurutnya, putusan ini memiliki implikasi besar terhadap perpolitikan dan demokrasi masa depan Indonesia.
“Putusan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden (PT) menjadi 0 persen patut diapresiasi karena membawa dampak positif yang sangat besar. Ini langkah strategis bagi demokrasi kita,” ujarnya saat dihubungi KBA News, Jumat, 3 Januari 2025.
Surahman menambahkan, dengan ambang batas 0 persen, semua partai kini memiliki peluang untuk mencalonkan capres tanpa syarat minimal suara atau kursi di DPR RI. Dalam konteks ini, Anies Baswedan perlu mempertimbangkan langkah politiknya ke depan.
“Daripada membentuk organisasi masyarakat (ormas) baru yang nantinya berubah menjadi partai, seperti pengalaman NasDem, yang membutuhkan waktu dan energi besar, lebih baik bergabung dengan partai yang sudah ada,” sarannya.
Sebagai contoh, ia menyebut Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat ini terlempar dari parlemen. Bergabung dengan partai seperti ini, menurutnya, memungkinkan relawan untuk lebih mudah mengonsolidasikan kekuatan dan melakukan koordinasi.
“Langkah ini jauh lebih efisien dibandingkan membentuk lokomotif baru dan membangun gerbong baru, yang memerlukan usaha besar dan waktu lama,” jelas Surahman.
Ia juga menegaskan bahwa bergabung dengan partai yang sudah ada akan lebih strategis. “Dengan begitu, relawan bisa langsung bergerak dan melakukan konsolidasi menuju Pemilu 2029,” tegasnya.
Sebagai praktisi hukum, Surahman juga mengapresiasi gugatan ke MK ini, yang diajukan oleh mahasiswa sebagai representasi masyarakat umum, bukan oleh politikus atau calon presiden. Menurutnya, momentum pengajuan gugatan ini sangat tepat karena diajukan pada saat awal pemerintahan Prabowo Subianto.
“Dalam 100 hari pertama, pemerintahan cenderung mengambil keputusan yang aman atau terkesan ‘cari aman’. Contohnya, ketika terjadi polemik salah ucap terkait pemberian amnesti kepada koruptor, timnya dengan cepat memberikan koreksi dan memastikan wacana tersebut tidak dilanjutkan,” ungkapnya.
Ia juga mencontohkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akhirnya hanya diberlakukan untuk barang mewah. “Padahal, kebijakan itu dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran APBN. Namun, oleh pemerintahan Prabowo, kebijakan tersebut diubah demi menjaga stabilitas politik,” tuturnya. (DJP)
Discussion about this post