Daily News | Jakarta – Anies Baswedan masih menjadi sorotan dengan gagasan membangun gerakan politik baru, baik melalui ormas (organisasi masyarakat) maupun kemungkinan pendirian partai. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini dikenal dengan pendekatan berbasis inklusivitas dan keberagaman, yang sedikit berbeda dari partai-partai yang didominasi elite lama.
Namun, wacana pendirian partai atau ormas oleh figur seperti Anies harus menghadapi tantangan regulasi yang ketat serta biaya yang besar. Mendirikan partai di Indonesia bukan hanya soal dukungan massa, tetapi juga butuh kekuatan finansial yang sangat besar. Bagaimana sejarah pendirian partai politik secara umum di Indonesia?
Pengamat politik Dr. Martadani Noor, MA, menjelaskan bahwa perkembangan partai politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konteks sejarah, mulai dari era Orde Baru hingga Reformasi. Pada masa Orde Baru, terdapat fusi partai yang dibentuk oleh Presiden Soeharto.
Kala itu, partai politik di Indonesia hanya terdiri dari tiga partai besar, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang mewakili kelompok nasionalis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari kalangan Islam, serta Golongan Karya (Golkar) yang memiliki basis dukungan luas dari masyarakat umum. Kebijakan ini merupakan bentuk kontrol terhadap partai-partai yang ada dan penyederhanaan politik di Indonesia.
Namun, setelah kejatuhan Orde Baru, Reformasi membawa perubahan signifikan terhadap sistem politik Indonesia. Aturan pendirian partai yang sebelumnya ketat mulai dilonggarkan. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak partai politik baru, di antaranya sembilan partai yang berhasil lolos dalam pemilu pertama setelah reformasi. “Pada masa awal Reformasi, syarat pendirian partai relatif mudah,” kata Dr. Martadani saat ditemui KBA News, Senin, 7 Oktober 2024.
Pada masa ini, partai-partai baru bermunculan, salah satunya dipicu oleh perubahan regulasi yang tidak seketat pada masa Orde Baru. Hal ini memberi ruang bagi berbagai kelompok politik untuk bersaing dan berpartisipasi dalam sistem demokrasi yang baru lahir.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, aturan mengenai pendirian partai politik semakin diperketat. Hal ini dimulai pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini menambahkan bahwa perubahan regulasi yang semakin ketat ini membuat proses pendirian partai politik menjadi lebih sulit dibandingkan masa awal Reformasi. Salah satu contohnya adalah persyaratan yang mengharuskan partai memiliki kantor di 38 provinsi, serta di 70% kabupaten/kota dan 50% kecamatan di seluruh Indonesia.
Selain itu, biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan ini bisa mencapai ratusan miliar rupiah. “Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara lain yang lebih longgar dalam pendirian partai. Misalnya di Eropa, partai-partai lokal berbasis komunitas diperbolehkan dan tidak harus memiliki basis secara nasional,” jelas Dr. Martadani.
Salah satu poin menarik yang diangkat Dr. Martadani adalah peran besar elite politik dalam pendirian partai. Pada dasarnya, pendirian partai politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kehendak elite. Konflik di antara elite politik sering kali menjadi pendorong lahirnya partai-partai baru, yang kemudian dilegitimasi menjadi kehendak masyarakat.
Namun, biaya pendirian partai sangat mahal dan sering kali tidak berbasis pada kekuatan komunitas atau ideologi tertentu. Pendirian partai di Indonesia sangat elitis, lebih didorong oleh kekuatan ekonomi daripada ideologi. “Mereka yang mampu mendirikan partai biasanya memiliki kekuatan finansial yang besar, ketokohan ada tapi kecil, sementara ideologi semakin kecil,” ungkapnya.
Lulusan S2 di India ini menegaskan bahwa kondisi pendirian partai di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain, di mana partai-partai berbasis komunitas atau lokal masih bisa eksis tanpa harus memenuhi syarat-syarat yang rumit.
Di Indonesia, pendirian partai harus melalui jalur yang sulit dan mahal, sehingga lebih didominasi oleh elite politik yang memiliki kekuatan ekonomi. Dengan adanya regulasi yang ketat dan tantangan pendanaan, pendirian partai baru di Indonesia tidak hanya membutuhkan dukungan massa, tetapi juga sumber daya finansial yang besar.
Lulusan S2 UNS Surakarta ini menyatakan, kebutuhan finansial yang besar bisa diminimalisir jika partai punya basis komunalitas. Semakin besar basis komunalitas, maka semakin kecil finansial yang dikeluarkan.
Dia menyebutkan, Anies sebenarnya punya basis komunilitas yang kuat. “Simpul-simpul relawan Anies yang tersebar di seluruh Indonesia, itu komunalitas. Sebenarnya modal sosial yang kuat bagi Anies jika ingin mendirikan partai politik,” katanya. (DJP)