Daily News | Jakarta – “Walaupun aparat penyidik memiliki hak memeriksa seseorang sesuai sistem hukum pidana dalam KUHAP, tentunya tetap harus mematuhi fatsoen dan ‘kekebalan hukum seorang advokat. Setidaknya secara prioritas, bisa memprosesnya terlebih dahulu sesuai Kode Etik Advokat ke induk organisasinya masing- masing.”
Tindakan Polisi memanggil para pengacara sehubungan dengan laporan Joko Widodo terhasdap beberapa orang yang sedang menjalankan tugasnya sebagai kuasa hukum, tidak bisa dibenarkan. Sebab, mereka mempunyai hak imunitas yang dijamin UU bahwa mereka tidak dapat dipidanakan selagi menjalankan tugas profesinya.
Pengacara senior alumni UI Juju Purwantoro menyatakan hal itu kepada KBA News, Ahad, 11 Mei 2025 menyikapi pemanggilan polisi kepada para pengacara berkenaan dengan pengaduan Joko Widodo bahwa ada beberapa orang yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya, yaitu Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauziah Tyassuma, Haris Fadillah, Eggy Sudjana dan Kurnia Tri Royani dan beberapa nama lain.
Menurut Juju, berdasarkan UU No 18 tahun 2023 tentang Advokat di pasal 16 diatur perihal hak imunitas advokat (pengacara). Pasal itu menyebutkan dalam hal sedang menjalankan tugas profesinya seorang advokat tidak bisa dituntut di depan pengadilan, tidak bisa dipanggil dan diminta keterangan yang berkaitan dengaan tugas yang sedang dijalankannya.
Yang dimaksud Hak Imunitas Advokat itu, kata Juju, adalah hak khusus (kekebalan hukum) yang bertujuan untuk melindungi advokat agar dapat menjalankan tugasnya secara independen dan profesional. “Dalam menjalankan tugas profesinya advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, selama beriktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar persidangan secara independen dan mandiri,” kata laki-laki yang juga menjadi kuasa hukum menggugat ijazah palsu Jokowi itu.
Jaminan kepastian dan perlindungan hukum diberikan kepada para advokat, tambahnya, dalam membela klien tanpa rasa takut akan tuntutan hukum. Dasar pemikirannya juga agar mereka bebas dari pengaruh Eksternal/intervensi dari pihak lain dalam bertugas, kecuali tindakan yang “melanggar hukum atau tidak dengan iktikad baik”.
Juju menjelaskan, dalam proses dugaan ijazah palsu Jokowi di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), rekan-rekannya yaitu Adv.Prof. Eggi Sudjana dan Adv. Meidi Juniarto, juga akan dilakukan pemeriksaan oleh kepolisian. Sementara Adv. Damai Hari Lubis dan Adv .Kurnia Tri Royani, telah menjalani pemeriksaan pada 10 Mei, dan akan dilanjutkan minggu depan oleh Polda Metro Jaya.
Pelaporan polisi tersebut dilakukan sendiri oleh mantan presiden Jokowi bersama pengacaranya dan kelompok masyarakat pro-Jokowi. Hal itu bisa menjadi ‘obstruction of justice” bagi sistim kepastian dan penegakkan hukum di masyarakat. “Seperti kita ketahui, Jokowi juga menjabat sebagai salah seorang Dewan Pengawas di perusahaan milik negara Danantara. Sebagai pejabat publik, wajib membebaskan dirinya dari urusan kritik masyarakat dan hukum publik (pidana),” kata Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (AKSI) itu.
Tidak beritikad baik
Dijelaskannya, dalam dua kali persidangan yang telah dilakukan secara perdata di PN Jakpus dan satu kali persidangan pidana di PN Surakarta, pihak Jokowi tidak pernah punya itikad baik (good will) berdasarkan ‘azas legalitas’ menunjukkan ijazah aslinya di muka persidangan. Mereka selalu berkelit ketika diminta untuk menunjukkan ijazah asli Jokowi. Akhirnya pengadilan gagal untuk memeriksa keaslian ijazah karena tidak pernah diperlihatkan di pengadilan.
Sementara itu penelitian berbasis ilmiah dari pakar yang punya latar belakang ilmu pengatahuan Digital Forensik (DR.Rismon Sianipar) dan Telematika (DR. Roy Suryo) dengan menggunakan perangkat modern digital (IT). Penelitian mereka dengan referensi yang mereka miliki menunjukkan dugaan kuat bahwa ‘ Skripsi dan Ijazah Sarjana Fakultas Kehutanan UGM Jokowi adalah diduga palsu.
Oleh karenanya berdasarkan konsitusi pasal 28E UUD 1945 dan semua sistim (norma hukum) yang berlaku mereka menyampaikan Kebebasan berpendapat secara lisan dan tertulis sesuai referensi dan ilmu pengetahuannya. . Sebagai para pakar/ahli tersebut, mereka berpendapat secara ilmiah semata, guna menghasilkan manfaat kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Sesuai juga UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa “setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan secara bebas serta bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sementara itu sebagai advokat, yang juga dimintakan keterangan oleh pihak kepolisian sebatas harus objektif dan independen, sesuai UU Advokat No. 18 tahun 2003 yaitu profesional, proporsionalitas, independen dan akuntabel. “Mereka para advokat juga sedang menjalankan fungsi dan tugas, berdasarkan sumpah profesinya sesuai perintah Undang-Undang,” kata Juju.
Sesuai sumpah dan jabatannya sebagai penegak hukum (pasal 5 UU Tentang Advokat), dalam mendampingi kliennya seorang advokat memiliki kekebalan hukum dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, baik secara lisan maupun terulis, secara individu maupun kelompok. Karena itu mereka tidak bisa dituntut atas profesi mereka.
“Walaupun aparat penyidik memiliki hak memeriksa seseorang sesuai sistem hukum pidana dalam KUHAP, tentunya tetap harus mematuhi fatsoen dan ‘kekebalan hukum seorang advokat’. Setidaknya secara prioritas, bisa memprosesnya terlebih dahulu sesuai Kode Etik Advokat ke induk organisasinya masing- masing,” demikian Juju Puwantoro. (AM)